BREAKING NEWS
Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan

Jokowi Seharusnya Bisa Ditangkap!



Opini oleh: Muslim Arbi – Direktur Gerakan Perubahan dan Koordinator Indonesia Bersatu

Joko Widodo dinilai sudah seharusnya ditangkap berdasarkan berbagai kesaksian serta pernyataan yang telah disampaikan ke publik oleh sejumlah tokoh dan mantan pejabat hukum maupun pemerintahan. Selain itu, laporan dari para aktivis ke institusi hukum beberapa waktu lalu semakin menguatkan keyakinan publik bahwa mantan presiden tersebut perlu segera diproses secara hukum.

 

Dengan demikian, pemerintahan Prabowo Subianto diharapkan dapat membuktikan komitmennya dalam menegakkan keadilan secara adil dan sesuai dengan konstitusi serta sumpah jabatan presiden.

 

Institusi penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus segera bertindak untuk menegakkan hukum terhadap Joko Widodo, yang oleh sebagian masyarakat diyakini terlibat dalam berbagai kasus. Oleh karena itu, langkah hukum berupa penangkapan dan penahanan terhadap Jokowi dinilai sudah seharusnya dilakukan.

 

Beberapa tokoh manyatakan telah memberikan kesaksian terkait dugaan pelanggaran hukum oleh Joko Widodo antara lain

  1. Hasto Kristiyanto menyatakan bahwa terdapat tekanan untuk menjadikan Anies Baswedan sebagai tersangka dalam kasus Formula E atas arahan Jokowi.
  2. Hasto juga mengungkapkan adanya dana sebesar 3 juta dolar yang digunakan untuk revisi UU KPK, yang disebutnya atas perintah Jokowi melalui MR "P".
  3. Karen Agustiawan, mantan Direktur Pertamina, menyebutkan bahwa kasusnya terkait dengan instruksi dari Presiden Joko Widodo.

 

  1. Agus Raharjo, mantan Ketua KPK, mengungkapkan bahwa Presiden Jokowi pernah meminta penghentian penyelidikan kasus E-KTP.
  2. Abraham Samad dan beberapa mantan pimpinan KPK melaporkan dugaan keterlibatan Jokowi dalam kasus Pagar Laut bersama pengusaha Aguan dan Anthony Salim.

 

  1. Abdullah Hehamahua, mantan penasihat KPK, secara tegas menyatakan bahwa Jokowi dapat dijatuhi hukuman mati.
  2. Eggi Sudjana, Muslim Arbi, dan sejumlah aktivis lainnya telah melaporkan dugaan pemalsuan ijazah Jokowi ke Kepolisian dan DPD RI.

 

Berbagai kesaksian, laporan, serta pengaduan dari para tokoh dan aktivis di atas semakin memperkuat alasan bagi aparat penegak hukum, termasuk KPK, Polri, dan Kejaksaan, untuk segera menangkap, menahan, dan mengadili Joko Widodo sesuai dengan hukum yang berlaku.

Minyakita Disunat, Rakyat Jadi Korban Lagi. Kok Bisa?


 

Opini leh Achmad Nur Hidayat- Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

Kasus pengurangan isi kemasan Minyakita dan praktik penjualan di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) adalah ironi di tengah upaya pemerintah menghadirkan minyak goreng murah bagi rakyat.

Situasi ini mencederai hak masyarakat atas pangan yang terjangkau. Praktik curang ini tidak terjadi tanpa sebab. Salah satu faktor utama adalah kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO), bahan baku minyak goreng, yang melonjak dalam beberapa bulan terakhir dan oknum yang cari untung sendiri.

Ini Alasan Oknum Melakukan Kecurangan Minyakita!

Ketika harga CPO melampaui angka keekonomian, produsen Minyakita menghadapi dilema antara mengikuti ketentuan HET atau menyesuaikan harga demi keberlangsungan produksi.

Sayangnya, sebagian memilih jalan pintas: mengurangi isi kemasan atau menaikkan harga di atas HET. Ini bukti bahwa regulasi harga yang tak adaptif dengan realitas pasar membuka ruang bagi praktik nakal.

Tak kalah penting adalah rantai distribusi yang panjang dan tidak efisien.

Dari produsen, minyak goreng harus melewati banyak tangan hingga sampai ke konsumen, mulai dari distributor besar, distributor kecil, hingga pengecer.

Dalam setiap rantai ini, potensi markup harga sangat besar.

Ketika pengawasan negara lemah, celah ini dieksploitasi untuk keuntungan sepihak. Praktik ini semakin memburuk dengan lemahnya tindakan hukum. Fakta bahwa ada produsen Minyakita yang beroperasi tanpa izin edar atau SNI adalah bukti nyata lemahnya pengawasan pemerintah.

Ketidakhadiran negara dalam mengontrol rantai pasok minyak goreng rakyat menjadi penyebab utama mengapa kecurangan semacam ini bisa tumbuh subur.

Tata Kelola Produksi dan Distribusi Minyakita Bermasalah, Tidak Ada Upaya Perbaikan

Jika ditelisik, persoalan Minyakita adalah cermin dari tata kelola pangan nasional yang rapuh.

Minyakita seharusnya menjadi jaring pengaman sosial dalam sektor pangan, memastikan rakyat kecil bisa memperoleh minyak goreng berkualitas dengan harga murah.

Namun, desain distribusi yang kompleks dan tidak efisien menjadi persoalan serius. Alih-alih mendistribusikan langsung ke pasar rakyat atau koperasi konsumen, Minyakita banyak dikendalikan oleh tangan-tangan swasta yang tidak seluruhnya berpihak kepada rakyat.

Kebijakan Minyakita yang tidak berbasis pada data distribusi riil menyebabkan produk ini sulit diawasi.

Minimnya integrasi sistem informasi logistik minyak goreng membuat distribusi tidak transparan dan sulit dilacak.

Pemerintah gagal memastikan bahwa Minyakita sampai kepada sasaran yang tepat.

Belum lagi, kebijakan penetapan HET yang kaku dan tidak memperhitungkan kenaikan bahan baku membuat produsen menghadapi tekanan biaya produksi.

Akibatnya, muncul fenomena “menyelamatkan bisnis” dengan mengorbankan konsumen, padahal tanggung jawab sosial seharusnya menjadi prioritas dalam penyediaan pangan pokok bersubsidi.

Tak kalah penting, tata kelola produksi Minyakita juga memperlihatkan ketimpangan kekuatan antar pelaku usaha.

Sebagian besar pasokan Minyakita masih diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar yang sejatinya memiliki kapasitas memenuhi standar, tetapi memilih abai. Sementara itu, pelaku kecil yang sebenarnya dapat digandeng untuk produksi berbasis koperasi tidak diberdayakan optimal. Inilah cerminan ketimpangan sistemik yang perlu dikoreksi.

Abaikan Kepentingan Publik, Ini Yang Harus Diperbaiki Pemerintah

Dalam menghadapi skandal Minyakita, pemerintah tidak cukup hanya memberi sanksi kepada pelaku, tetapi harus melakukan perombakan besar-besaran dalam tata kelola produksi dan distribusi minyak goreng rakyat.

Negara harus berpihak penuh pada masyarakat, terutama kelompok miskin yang sangat bergantung pada minyak goreng murah.

Pertama, pemerintah harus segera melakukan evaluasi mendalam terhadap HET Minyakita.

Jika harga bahan baku melonjak, HET harus disesuaikan agar realistis. Namun, solusi ini harus dibarengi dengan skema subsidi langsung kepada konsumen atau pelaku usaha mikro agar mereka tetap memperoleh minyak goreng dengan harga terjangkau tanpa memberatkan produsen.

Kedua, pemerintah harus memotong rantai distribusi panjang yang membuka celah bagi praktik curang.

Minyakita harus didistribusikan melalui saluran resmi dan dikontrol negara, seperti Bulog, koperasi, atau pasar rakyat yang diawasi langsung. Sistem distribusi harus berbasis teknologi, dengan digitalisasi logistik dan pelacakan stok secara real-time.

Hal ini akan memastikan bahwa dari produsen hingga konsumen, aliran barang dan harga bisa dipantau dengan baik.

Ketiga, negara harus melakukan penegakan hukum tanpa kompromi. Produsen atau distributor yang terbukti mengurangi takaran atau menjual di atas HET harus dicabut izinnya, disita asetnya, dan diumumkan kepada publik.

Kecurangan dalam penyediaan pangan rakyat tidak bisa ditoleransi. Aparat penegak hukum, khususnya Satgas Pangan, perlu diberikan kewenangan lebih luas dan sumber daya yang memadai untuk melakukan pengawasan ketat di seluruh wilayah distribusi Minyakita.

Keempat, perlu penguatan kapasitas produksi Minyakita yang berbasis koperasi atau usaha mikro lokal.

Negara harus mendorong pelibatan koperasi dan UMKM dalam produksi minyak goreng rakyat, agar distribusi tidak dimonopoli segelintir perusahaan besar. Keterlibatan koperasi juga bisa menjadi solusi jangka panjang untuk menjaga harga stabil sekaligus memberdayakan ekonomi rakyat.

Kelima, pemerintah harus membuka kanal pengaduan publik yang responsif dan berbasis data.

Masyarakat harus dapat dengan mudah melaporkan praktik kecurangan di pasar dan mendapatkan respons cepat. Transparansi harga dan volume Minyakita di pasar harus menjadi informasi publik yang bisa diakses semua orang. Ini adalah bentuk kontrol sosial yang bisa memperkuat pengawasan negara.

Pada akhirnya, Minyakita adalah hak publik. Kegagalan negara dalam menjaga kualitas, kuantitas, dan harga minyak goreng rakyat berarti pengkhianatan terhadap tanggung jawab konstitusional untuk menjamin pangan rakyat.

Negara tidak boleh kalah oleh mafia pangan yang hanya mementingkan keuntungan semata. Saatnya pemerintah berdiri tegak membela rakyat, memperbaiki tata kelola Minyakita, dan memastikan bahwa setiap tetes minyak goreng bersubsidi benar-benar menjadi berkah bagi rakyat, bukan alat permainan segelintir pengusaha rakus.

Jika pemerintah tidak segera bertindak, maka dampaknya bukan hanya kerugian ekonomi, tetapi juga kerusakan kepercayaan publik terhadap negara. Oleh karena itu, pembenahan Minyakita adalah ujian nyata keberpihakan negara pada rakyatnya.

 


Korupsi Pertamax Oplosan Rp 193,7 Triliun Patut Dikategorikan Pidana Subversif (Bagian-1)

Opini oleh Kisman Latumakulita – Wartawan Senior FNN

Jaksa Agung ST Burhanudin dan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah seharusnya fokus pada penyelidikan dan penyidikan skandal korupsi Pertamax oplosan ini, bukan justru menjadi juru bicara atau pembela bagi kakak-beradik Garibaldi (Boy) Thohir dan Erick Thohir. Jika ada klarifikasi atau pembelaan, biarkan pihak keluarga atau perwakilan ADARO Group yang menyampaikannya.

Sebagai perpanjangan tangan Presiden, Kejaksaan Agung memiliki tanggung jawab besar untuk menindaklanjuti janji kampanye Presiden Prabowo, yaitu memberantas korupsi tanpa pandang bulu, bahkan jika para pelaku harus dikejar hingga ke Antartika. Janji ini harus benar-benar dijalankan, bukan hanya sekadar retorika politik.

Ada dugaan bahwa kasus korupsi Pertamax RON 92 oplosan senilai Rp 193,7 triliun ini akan ditangani dengan cara yang sama seperti kasus korupsi timah Rp 300 triliun—hanya menjerat pelaku kecil sementara dalang besarnya dibiarkan bebas. Dalam kasus timah, Kejaksaan Agung diduga tidak serius, bahkan ada indikasi negosiasi dengan para tersangka terkait ancaman hukuman.

Bukti nyata ketidaktegasan tersebut terlihat pada tuntutan ringan terhadap Harvey Moeis, yang hanya diminta menjalani 12 tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar dan pengembalian uang Rp 210 miliar—jumlah yang jauh dari total kerugian negara sebesar Rp 300 triliun. Akibatnya, majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis ringan, yakni 6,5 tahun penjara.

Reaksi keras Presiden Prabowo terhadap hukuman yang dianggap tidak sebanding dengan nilai korupsi akhirnya mendorong Pengadilan Tinggi Jakarta memperberat hukuman Harvey Moeis menjadi 20 tahun penjara, serta menaikkan jumlah uang pengganti menjadi Rp 420 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa tekanan publik dan pemimpin negara, penanganan kasus korupsi bisa saja tidak berjalan optimal.

Skandal korupsi Pertamax RON 92 oplosan yang mencapai Rp 193,7 triliun ini harus dikategorikan sebagai tindak pidana subversif. Mengapa demikian? Karena dampaknya luas terhadap masyarakat, mengganggu stabilitas ekonomi, dan berpotensi memicu krisis politik—sesuatu yang telah terbukti di banyak negara lain.

Tugas Kejaksaan Agung bukan hanya sebatas menangani kasus ini secara prosedural, tetapi juga mencari celah hukum yang memungkinkan pengkategorian kasus ini sebagai tindakan subversif. Jangan sampai Kejaksaan kembali bermain-main dengan hukum seperti dalam kasus timah.

Masyarakat membayar pajak untuk membiayai operasional Kejaksaan, bukan untuk membela kepentingan segelintir elit. Oleh karena itu, tidak pantas jika Kejaksaan Agung justru menjadi juru klarifikasi dan pembela bagi Boy Thohir dan Erick Thohir, apalagi jika mereka belum berstatus tersangka.

Jika ada opini publik di media sosial yang menyoroti keterlibatan Boy Thohir dan Erick Thohir, itu adalah hak masyarakat. Kejaksaan seharusnya menerima suara publik sebagai bentuk dukungan dalam upaya pemberantasan korupsi, bukan malah buru-buru melakukan klarifikasi yang justru menimbulkan kecurigaan.

Masyarakat masih percaya pada institusi Kejaksaan, meskipun ada beberapa oknum di puncak kepemimpinan yang terkesan enggan meninggalkan kebiasaan lama dalam menangani kasus-kasus besar. Jika Kejaksaan tidak ingin kehilangan kepercayaan publik, maka sudah saatnya bekerja dengan serius, transparan, dan tanpa kepentingan tersembunyi.

(Bersambung…)

Hasto, Karen, dan Jokowi


Opini oleh: Muslim Arbi - Direktur Gerakan Perubahan

Pernyataan Karen Agustiawan, mantan Direktur Utama Pertamina, yang mengungkap bahwa tindakannya dilakukan atas perintah atasan, yakni Jokowi, telah mengejutkan publik.

Sementara itu, Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI-P, juga menegaskan keterlibatan Jokowi dalam kasus Formula E yang bertujuan untuk menetapkan Anies Baswedan sebagai tersangka. Selain itu, ia juga menyebut adanya dana sebesar 3 juta dolar dari Jokowi untuk revisi UU KPK.

Pengakuan dari dua tokoh ini telah menjadi perhatian masyarakat luas. Keterlibatan langsung nama Joko Widodo dalam pernyataan Hasto dan Karen membuat publik heboh.

Dalam sebuah video yang beredar, Hasto Kristiyanto membuat publik tercengang, sementara Karen Agustiawan dengan yakin menegaskan bahwa tindakannya dilakukan atas arahan Presiden Jokowi.

Saat ini, KPK telah menangani kasus ini, dan baik Hasto maupun Karen telah ditahan.

Publik Pertanyakan Sikap KPK Terhadap Jokowi

Namun, yang menjadi tanda tanya besar adalah mengapa KPK belum memanggil atau memeriksa Jokowi, meskipun namanya disebut secara langsung dalam pengakuan dua tokoh tersebut?

Sikap KPK yang tidak segera menindaklanjuti pengakuan ini menimbulkan kecurigaan bahwa lembaga tersebut bersikap diskriminatif dan seolah melindungi Jokowi, yang saat ini tidak lagi menjabat sebagai Presiden.

Publik pun menduga bahwa KPK memiliki kepentingan untuk melindungi Jokowi, terlebih lagi karena komisioner KPK periode 2024-2029 dibentuk oleh Presiden Jokowi di akhir masa jabatannya, yang seharusnya menjadi kewenangan Presiden Prabowo dan DPR hasil Pemilu 2024-2029.

Indikasi KPK Tidak Profesional dan Penuh Kepentingan Politik

Sikap KPK yang enggan menyentuh Jokowi dalam kasus ini semakin memperkuat dugaan bahwa lembaga antirasuah tersebut memiliki konflik kepentingan dan tidak bertindak secara independen.

Dalam kasus Hasto, KPK bahkan mendapat kritik keras dari tim kuasa hukumnya, yang menilai bahwa KPK telah melanggar UU KPK, bersikap arogan, dan bertindak tidak profesional.

Kini, publik semakin yakin bahwa tidak diprosesnya Jokowi dalam kasus ini menjadi bukti kuat bahwa KPK sedang membalas budi kepada mantan Presiden tersebut.

Jika benar demikian, maka KPK tidak lagi bisa dipertahankan sebagai lembaga pemberantasan korupsi yang profesional dan independen. Sebab, lembaga ini telah berubah menjadi alat politik yang digunakan untuk kepentingan Jokowi.

Sebelumnya, dugaan bahwa KPK merupakan alat politik Jokowi hanya terdengar samar-samar di kalangan masyarakat. Namun, dalam kasus Hasto dan Karen, dugaan tersebut semakin jelas terlihat.

KPK kini dianggap melindungi Jokowi, melanggar UU, tidak profesional, dan tidak independen, serta semakin nyata menjadi alat politik mantan Presiden.

Melihat kondisi ini, Presiden Prabowo seharusnya mempertimbangkan untuk membubarkan KPK atau setidaknya membekukan KPK yang ada saat ini dan membentuk lembaga baru yang lebih independen dan profesional dalam memberantas korupsi.

Pemimpin Kaum Terpinggirkan



Catatan Ramadnan Fathul Wahid-  UII Yogyakarta


Masihkah mungkin kita temukan seorang pemimpin yang mengutamakan rakyatnya, terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan?


Kisah Umar bin Khattab r.a. dapat menjadi teladan bagi kita. Pada satu malam, beliau memikul sendiri sekarung gandum ke rumah seorang ibu yang sedang memasak batu untuk menghibur anak-anaknya karena kelaparan. Umar berkata, "Jika rakyatku kelaparan, maka aku adalah orang pertama yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah."


Islam menekankan pentingnya keadilan sosial dan perhatian terhadap kalangan yang lemah. Allah Swt. berfirman: "Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin..." (QS Al-Baqarah: 83).


Pemimpin adalah pelayan rakyat. Rasulullah Muhammad saw. bersabda: "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Abu Nu’aim).


Seorang pemimpin sejati adalah mereka yang mampu memastikan bahwa kebutuhan kalangan miskin dan terpinggirkan terpenuhi.


Perhatian kepada kaum rentan dan terpinggirkan menjadi jalan dalam mewujudkan keadilan sosial. Islam mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama untuk hidup dengan bermartabat. Pemimpin harus memastikan sumber daya negara didistribusikan secara adil.


Selain itu, kesadaran ini akan menghindarkan dari kekacauan sosial. Ketika kaum miskin dan terpinggirkan diabaikan, mereka mungkin akan merasa kecewa dan marah. Hal ini dapat memicu ketidakstabilan dalam masyarakat.


Semua itu merupakan upaya itibak Rasulullah saw. Rasulullah adalah teladan bagi para pemimpin. Beliau selalu memberi perhatian khusus kepada kalangan rentan: miskin, yatim, dan duafa.

Kepemimpinan bukanlah tentang kemewahan atau pujian, tetapi tentang tanggung jawab besar.


Mari, kita doakan dan ingatkan para pemimpin untuk dapat menjalankan amanah dengan baik, memperhatikan rakyat kecil, dan tidak malah melayani segelintir elite, para oligark.


8 Ramadan 1446/8 Maret 2025

Sumber: https://www.instagram.com/p/DG6yZ7EzTMs/

 

DIAM BUKAN PILIHAN



Catatan Ramadhan Fathul Wahid-  Rektor UII Yogyakarta

 

Ketika ketidakadilan merajalela

" Diam bukan pilihan "

Pengingat harus digaungkan

 

Ketika kebenaran diinjak-injak

" Diam bukan pilihan "

Nurani harus dibangunkan

 

Ketika yang lemah ditindas

" Diam bukan pilihan "

Kita harus berdiri

 

Ketika yang benar dihina

" Diam bukan pilihan "

Kita harus melawan

 

" Diam bukan pilihan "

Ketika akal sehat dilecehkan

 

" Diam bukan pilihan "

Ketika amanah diabaikan

 

"Diam bukan pilihan "

Ketika dunia membutuhkan

aksi yang berani

hati yang peduli

 

Kita harus bersuara

Kita harus berdiri

Kita harus melawan

Untuk keadilan yang sejati

 

" Diam bukan pilihan ", kawan ...!

 

6 Ramadan 1446/6 Maret 2025

 

Sumber: https://www.instagram.com/p/DG4N_d3TLDa/?img_index=5

Membuka Tabir #Indonesia Gelap, Setelah Kampus Solo dan Jogja, Kini Bandung Membara



Opini oleh Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes*)

 

Alhamdulillah, bulan suci Ramadan rupanya tidak mengurangi semangat Rakyat untuk terus meneriakkan #AdiliJokowi #MakzulkanFufufafa dalam Membuka Tabir #IndonesiaGelap  Justru ditengah-tengah kekhusukan menjalankan Rukun Islam ke-3 bagi Umat Muslim dan tengah menjalankannya di hari-hari ini gerakan masyarakat yang masih peduli dengan kondisi terkini bangsa ini terasa makin cetar membara.

 

Cetar membara? Ya,  Cetar Membara, bukan "Cetar Membahana", karena kalau rangkain kata terakhir ini memang pernah dipopulerkan oleh Syahrini sekitar tahun 2012-2013 silam. Khusus kali ini kita tidak perlu membahas sosok Syahrininya lagi, karena sudah dikupas tuntas saat pembahasan Akun Kaskus Fufufafa yang sangat kontroversial karena Hate speech, porno, SARA dan kampungan itu.

 

Sebagaimana diketahui si Fufufafa memang memiliki ketertarikan berlebihan (baca: tergila-gila) kepada sosok salahsatu Diva Indonesia tersebut. Mulai dari postingannya soal (maaf) "S*s* Syahrini", Celotehannya bersama Adiknya saat diwawancarai Kumparan.com (30/08/17) yang menyinggung barang bekas "Preloved Syahrini", hingga Bukti otentik bahwa nomor HP-lamanya +6289750**233 tersimpan dalam Aplikasi GetComtact sebagai "Customer Syahrini Kw".

 

Namun disini yang akan dibicarakan adalah Forum (Cetar) Membara di Bandung, yang merupakan kependekkan dari kata "Menjalin Esensi Mimbar Bandung Raya" yang diselenggarakan hari ini, Jumat 07/03/25 di Graha Sanusi, Kampus Dipatiukur Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung pukul 14.00 s/d 18.00 WIB yang merupakan hasil kerja bersama BEM Unpad, KM-Institut Teknologi Bandung (ITB) dan BEM Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

 

Diskusi Ramadan "Membuka Tabir #IndonesiaGelap* ini menampilkan beberapa pembicara sekaligus: Yanuar Rizky, Feri Amsari, Abraham Samad, Prof Susi Dwi Harijanti, Erros Djarot, Petrus Selestinus, Gigin Praginanto, Andi Sahrandi dan KRMT Roy Suryo. Tak ketinggalan hadir calon-calon pemimpin muda Ridho Anwari A (BEM Unpad), Fidela Marwa H (KM-ITB) dan Farhan Nugraha (BEM UPI) dengan Moderator Lukas Suwarso.

 

Diskusi berlangsung semarak, terbukti dengan banyaknya antusiasme audiens yang mengajukan pertanyaan sampai lebih dari10 (sepuluh) penanggap, mulai dari Mahasiswa, Aktivis Senior, hingga Ibu-ibu. Sebagian besar setuju dengan kondisi keterpurukkan Indonesia saat ini dan ingin agar segera bisa terlepas dari situasi #IndonesiaGelap saat ini, utamanya dengan melakukan aksi #AdiliJokowi dan #MakzulkanFufufafa

 

Kegiatan di Bandung ini merupakan rangkaian dari kegiatan serupa di Kampus Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo Selasa 18/02/25 dan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Jogja Rabu 19/02/25 lalu yang juga sudah berlangsung dengan semarak dan sukses. Rencana acara selanjutnya diselenggarakan di Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang Kamis 13/05/25 dan Universitas Airlangga (Unair) Jumat 14/05/25 minggu depan.

 

Kesimpulannya, Gerakan Rakyat yang peduli terhadap situasi negeri ini InshaaAllah tidak akan berhenti, meski beberapa pihak mengatakan tampak masih sporadis penyelenggaraannya. Kita harus percaya bahwa niat baik untuk membuat Indonesia bangkit dari #IndonesiaGelap saat ini akan mendapat jalan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Gusti Allah SWT tidak Sare dan akan memberi jalan. Format "Manunggaling Kalih Jagat" dengan memadukan Gerakan di Jagat Maya (Cyber) terlebih dahulu dan kemudian disusul dengan Aksi Fakta di Jagat Nyata terbukti mencapai kesuksesannya saat Aksi 22/08/24 lalu. Mengapa tidak ...?

 

*) Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes - Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen - Bandung

Apakah Prabowo, KPK, Polri dan Kejaksaan mau Legalkan Korupsi rezim Jokowi?

Opini oleh: Muslim Arbi- Direktur Gerakan Perubahan 

Sikap KPK yang sampai saat ini belum juga sentuh Jokowi dan Keluarga nya yang sudah lama di laporkan sejumlah pihak; Polri yang menyentuh Lurah Kohod dkk saja dalam kasus sertifikasi Laut; Kejaksaan Agung yang menerima kunjungan Erick Thohir dalam kasus Pertamina menjadi tanda tanya. Padahal Kejagung sedang usut pertamina. 

Sikap tiga insitusi hukum negara yang terkesan diskriminasi dan pilih buluh itu dugaan publik: korupsi rezim memang di lindungi. 

Kalau tidak di lindungi; KPK, Polri dan Kejaksaan, sudah membabat habis para pelaku korupsi siapapun dia. 

Sikap tebang pilih dan Diskrimantif 3 insitusi hukum negara itu (KPK, Polri dan Kejaksaan) itu
Rezim Prabowo dianggap omon-omon belaka. Padahal sesumbar akan mengejar koruptor sampai di Antartika saat kampanye. 

Sudah menjadi rahasia umum dipublik: Jokowi telah di tetapkan sebagai manusia terkorup dan terjahat dalam pelanggaran HAM oleh OCCRP. Demikian juga banyak laporan yang telah masuk ke KPK oleh banyak pihak. Bahkan terakhir Mantan Ketua KPK; Abraham Samad dkk pun telah melaporkan Jokowi, Aguan dan Anthony Salim dalam kasus PSN-PIK 2. Toh KPK tidak bergeming. 

Rakyat semakin kecewa dan pesimis bila insitusi hukum negara berpihak kepada tindakan kejahatan yang di lakukan rezim dengan KKN yang semakin menggila itu. 

Dana ratusan dan ribuan triliun yang di korup oleh rezim di era Jokowi itu sudah telanjang di mata publik dalam berbagai berita itu mengerikan. 

Tetapi sikap Presiden Prabowo yang terlihat kompromi dan lemah terhadap kejahatan korupsi di masa Jokowi itu, di mata publik. Prabowo semakin tidak berwibawa. 

Padahal. Jika saja, Prabowo instruksi kan kepada KPK, Kejaksaan dan Kepolisian; agar tanpa pandang bulu sikat semua koruptor siapa saja. Tiga insitusi hukum itu akan tegak lurus terhadap Prabowo. 

Jika saja KPK, Polri, Kejaksaan tidak segera bertindak atas semua kejahatan KKN rezim Jokowi. Tinggal Ganti semua pimpinan 3 insitusi hukum negara itu. 

Presiden Prabowo tinggal Pecat Ketua KPK, Kapolri dan Jaksa Agung karena diskriminatif atas kasus-kasus korupsi yang di tangani. Rakyat pasti berasal di belakang Prabowo. 

Jika tidak, Prabowo dan ketiga insitusi hukum itu dianggap publik melegalkan korupsi dan KKN. Artinya: Korupsi Jokowi dan rezim nya di lindungi. Apakah seperti itu yang di kehendaki oleh Prabowo?
 
Copyright © 2025 CYBERSBI

cyberSBI