BREAKING NEWS

Kabiro SBI Kuningan Siap Kawal Proses Hukum Kasus Dugaan Penyerobotan Tanah Desa Linggarjati



Kuningan, kabarSBI – Menanggapi pemberitaan terkait laporan masyarakat Desa Linggarjati, Kecamatan Cilimus, mengenai dugaan hilangnya aset tanah desa, Kepala Biro kabar SBI Kuningan, Dadan Sudrajat, menyatakan kesiapan untuk mengawal kasus tersebut hingga tuntas.

Dadan mengapresiasi langkah proaktif warga dalam menjaga aset desa. Menurutnya, tuntutan masyarakat harus mendapat perhatian serius dari pihak terkait, mengingat tanah desa adalah amanat yang harus dijaga demi kepentingan bersama.

"Tanah negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Tanah yang tidak dimiliki dengan hak tertentu, bukan tanah ulayat, wakaf, atau aset pemerintah, termasuk dalam kategori ini," ujarnya, Rabu (12/3/2025).

Penyerobotan tanah merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan dan tindakan melawan hukum. Pemerintah telah menetapkan regulasi untuk melindungi korban dalam kasus semacam ini. Pasal 1 ayat (1) huruf a UU No. 51 Prp Tahun 1960 melarang pemakaian tanah tanpa izin dari pihak yang berwenang.

Menguasai tanah secara ilegal—baik dengan menempati, memagari, atau mengusir pemilik sah—dapat dikategorikan sebagai perampasan hak. Hak kepemilikan tanah yang sah harus dibuktikan dengan sertifikat resmi yang terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Dalam hukum, tindakan penyerobotan lahan termasuk dalam konsep bezit, yakni penguasaan suatu barang seolah-olah milik sendiri. Jika pemilik sah mengalami kerugian akibat penyerobotan, mereka berhak mengajukan gugatan hukum.

Penyerobotan tanah juga dapat mencakup pencurian atau perampasan, termasuk klaim sepihak dengan pematokan atau pemagaran lahan secara paksa. Pasal 2 UU 51/Prp/1960 melarang penggunaan tanah tanpa izin pemilik yang berhak.

Lebih lanjut, Pasal 385 ayat (1) dan (6) KUHP mengancam pelaku penyerobotan tanah dengan hukuman penjara maksimal 4 tahun. Pasal ini mengatur sanksi bagi mereka yang menjual, menukar, atau membebani hak atas tanah secara ilegal demi keuntungan pribadi atau orang lain.

Sementara itu, Pasal 502 UU Nomor 1 Tahun 2023 mengatur hukuman hingga 5 tahun penjara atau denda maksimal Rp500 juta bagi pelaku yang secara melawan hukum mengklaim, menjual, atau membebankan hak atas tanah negara maupun properti di atasnya.

Terkait perkembangan kasus ini, pihak Kecamatan Cilimus mengonfirmasi bahwa perkara tersebut sedang ditangani oleh Polres Kuningan. Semua pihak diminta menunggu hasil proses hukum yang sedang berjalan.

 

Tim

Jokowi Seharusnya Bisa Ditangkap!



Opini oleh: Muslim Arbi – Direktur Gerakan Perubahan dan Koordinator Indonesia Bersatu

Joko Widodo dinilai sudah seharusnya ditangkap berdasarkan berbagai kesaksian serta pernyataan yang telah disampaikan ke publik oleh sejumlah tokoh dan mantan pejabat hukum maupun pemerintahan. Selain itu, laporan dari para aktivis ke institusi hukum beberapa waktu lalu semakin menguatkan keyakinan publik bahwa mantan presiden tersebut perlu segera diproses secara hukum.

 

Dengan demikian, pemerintahan Prabowo Subianto diharapkan dapat membuktikan komitmennya dalam menegakkan keadilan secara adil dan sesuai dengan konstitusi serta sumpah jabatan presiden.

 

Institusi penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus segera bertindak untuk menegakkan hukum terhadap Joko Widodo, yang oleh sebagian masyarakat diyakini terlibat dalam berbagai kasus. Oleh karena itu, langkah hukum berupa penangkapan dan penahanan terhadap Jokowi dinilai sudah seharusnya dilakukan.

 

Beberapa tokoh manyatakan telah memberikan kesaksian terkait dugaan pelanggaran hukum oleh Joko Widodo antara lain

  1. Hasto Kristiyanto menyatakan bahwa terdapat tekanan untuk menjadikan Anies Baswedan sebagai tersangka dalam kasus Formula E atas arahan Jokowi.
  2. Hasto juga mengungkapkan adanya dana sebesar 3 juta dolar yang digunakan untuk revisi UU KPK, yang disebutnya atas perintah Jokowi melalui MR "P".
  3. Karen Agustiawan, mantan Direktur Pertamina, menyebutkan bahwa kasusnya terkait dengan instruksi dari Presiden Joko Widodo.

 

  1. Agus Raharjo, mantan Ketua KPK, mengungkapkan bahwa Presiden Jokowi pernah meminta penghentian penyelidikan kasus E-KTP.
  2. Abraham Samad dan beberapa mantan pimpinan KPK melaporkan dugaan keterlibatan Jokowi dalam kasus Pagar Laut bersama pengusaha Aguan dan Anthony Salim.

 

  1. Abdullah Hehamahua, mantan penasihat KPK, secara tegas menyatakan bahwa Jokowi dapat dijatuhi hukuman mati.
  2. Eggi Sudjana, Muslim Arbi, dan sejumlah aktivis lainnya telah melaporkan dugaan pemalsuan ijazah Jokowi ke Kepolisian dan DPD RI.

 

Berbagai kesaksian, laporan, serta pengaduan dari para tokoh dan aktivis di atas semakin memperkuat alasan bagi aparat penegak hukum, termasuk KPK, Polri, dan Kejaksaan, untuk segera menangkap, menahan, dan mengadili Joko Widodo sesuai dengan hukum yang berlaku.

Minyakita Disunat, Rakyat Jadi Korban Lagi. Kok Bisa?


 

Opini leh Achmad Nur Hidayat- Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

Kasus pengurangan isi kemasan Minyakita dan praktik penjualan di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) adalah ironi di tengah upaya pemerintah menghadirkan minyak goreng murah bagi rakyat.

Situasi ini mencederai hak masyarakat atas pangan yang terjangkau. Praktik curang ini tidak terjadi tanpa sebab. Salah satu faktor utama adalah kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO), bahan baku minyak goreng, yang melonjak dalam beberapa bulan terakhir dan oknum yang cari untung sendiri.

Ini Alasan Oknum Melakukan Kecurangan Minyakita!

Ketika harga CPO melampaui angka keekonomian, produsen Minyakita menghadapi dilema antara mengikuti ketentuan HET atau menyesuaikan harga demi keberlangsungan produksi.

Sayangnya, sebagian memilih jalan pintas: mengurangi isi kemasan atau menaikkan harga di atas HET. Ini bukti bahwa regulasi harga yang tak adaptif dengan realitas pasar membuka ruang bagi praktik nakal.

Tak kalah penting adalah rantai distribusi yang panjang dan tidak efisien.

Dari produsen, minyak goreng harus melewati banyak tangan hingga sampai ke konsumen, mulai dari distributor besar, distributor kecil, hingga pengecer.

Dalam setiap rantai ini, potensi markup harga sangat besar.

Ketika pengawasan negara lemah, celah ini dieksploitasi untuk keuntungan sepihak. Praktik ini semakin memburuk dengan lemahnya tindakan hukum. Fakta bahwa ada produsen Minyakita yang beroperasi tanpa izin edar atau SNI adalah bukti nyata lemahnya pengawasan pemerintah.

Ketidakhadiran negara dalam mengontrol rantai pasok minyak goreng rakyat menjadi penyebab utama mengapa kecurangan semacam ini bisa tumbuh subur.

Tata Kelola Produksi dan Distribusi Minyakita Bermasalah, Tidak Ada Upaya Perbaikan

Jika ditelisik, persoalan Minyakita adalah cermin dari tata kelola pangan nasional yang rapuh.

Minyakita seharusnya menjadi jaring pengaman sosial dalam sektor pangan, memastikan rakyat kecil bisa memperoleh minyak goreng berkualitas dengan harga murah.

Namun, desain distribusi yang kompleks dan tidak efisien menjadi persoalan serius. Alih-alih mendistribusikan langsung ke pasar rakyat atau koperasi konsumen, Minyakita banyak dikendalikan oleh tangan-tangan swasta yang tidak seluruhnya berpihak kepada rakyat.

Kebijakan Minyakita yang tidak berbasis pada data distribusi riil menyebabkan produk ini sulit diawasi.

Minimnya integrasi sistem informasi logistik minyak goreng membuat distribusi tidak transparan dan sulit dilacak.

Pemerintah gagal memastikan bahwa Minyakita sampai kepada sasaran yang tepat.

Belum lagi, kebijakan penetapan HET yang kaku dan tidak memperhitungkan kenaikan bahan baku membuat produsen menghadapi tekanan biaya produksi.

Akibatnya, muncul fenomena “menyelamatkan bisnis” dengan mengorbankan konsumen, padahal tanggung jawab sosial seharusnya menjadi prioritas dalam penyediaan pangan pokok bersubsidi.

Tak kalah penting, tata kelola produksi Minyakita juga memperlihatkan ketimpangan kekuatan antar pelaku usaha.

Sebagian besar pasokan Minyakita masih diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar yang sejatinya memiliki kapasitas memenuhi standar, tetapi memilih abai. Sementara itu, pelaku kecil yang sebenarnya dapat digandeng untuk produksi berbasis koperasi tidak diberdayakan optimal. Inilah cerminan ketimpangan sistemik yang perlu dikoreksi.

Abaikan Kepentingan Publik, Ini Yang Harus Diperbaiki Pemerintah

Dalam menghadapi skandal Minyakita, pemerintah tidak cukup hanya memberi sanksi kepada pelaku, tetapi harus melakukan perombakan besar-besaran dalam tata kelola produksi dan distribusi minyak goreng rakyat.

Negara harus berpihak penuh pada masyarakat, terutama kelompok miskin yang sangat bergantung pada minyak goreng murah.

Pertama, pemerintah harus segera melakukan evaluasi mendalam terhadap HET Minyakita.

Jika harga bahan baku melonjak, HET harus disesuaikan agar realistis. Namun, solusi ini harus dibarengi dengan skema subsidi langsung kepada konsumen atau pelaku usaha mikro agar mereka tetap memperoleh minyak goreng dengan harga terjangkau tanpa memberatkan produsen.

Kedua, pemerintah harus memotong rantai distribusi panjang yang membuka celah bagi praktik curang.

Minyakita harus didistribusikan melalui saluran resmi dan dikontrol negara, seperti Bulog, koperasi, atau pasar rakyat yang diawasi langsung. Sistem distribusi harus berbasis teknologi, dengan digitalisasi logistik dan pelacakan stok secara real-time.

Hal ini akan memastikan bahwa dari produsen hingga konsumen, aliran barang dan harga bisa dipantau dengan baik.

Ketiga, negara harus melakukan penegakan hukum tanpa kompromi. Produsen atau distributor yang terbukti mengurangi takaran atau menjual di atas HET harus dicabut izinnya, disita asetnya, dan diumumkan kepada publik.

Kecurangan dalam penyediaan pangan rakyat tidak bisa ditoleransi. Aparat penegak hukum, khususnya Satgas Pangan, perlu diberikan kewenangan lebih luas dan sumber daya yang memadai untuk melakukan pengawasan ketat di seluruh wilayah distribusi Minyakita.

Keempat, perlu penguatan kapasitas produksi Minyakita yang berbasis koperasi atau usaha mikro lokal.

Negara harus mendorong pelibatan koperasi dan UMKM dalam produksi minyak goreng rakyat, agar distribusi tidak dimonopoli segelintir perusahaan besar. Keterlibatan koperasi juga bisa menjadi solusi jangka panjang untuk menjaga harga stabil sekaligus memberdayakan ekonomi rakyat.

Kelima, pemerintah harus membuka kanal pengaduan publik yang responsif dan berbasis data.

Masyarakat harus dapat dengan mudah melaporkan praktik kecurangan di pasar dan mendapatkan respons cepat. Transparansi harga dan volume Minyakita di pasar harus menjadi informasi publik yang bisa diakses semua orang. Ini adalah bentuk kontrol sosial yang bisa memperkuat pengawasan negara.

Pada akhirnya, Minyakita adalah hak publik. Kegagalan negara dalam menjaga kualitas, kuantitas, dan harga minyak goreng rakyat berarti pengkhianatan terhadap tanggung jawab konstitusional untuk menjamin pangan rakyat.

Negara tidak boleh kalah oleh mafia pangan yang hanya mementingkan keuntungan semata. Saatnya pemerintah berdiri tegak membela rakyat, memperbaiki tata kelola Minyakita, dan memastikan bahwa setiap tetes minyak goreng bersubsidi benar-benar menjadi berkah bagi rakyat, bukan alat permainan segelintir pengusaha rakus.

Jika pemerintah tidak segera bertindak, maka dampaknya bukan hanya kerugian ekonomi, tetapi juga kerusakan kepercayaan publik terhadap negara. Oleh karena itu, pembenahan Minyakita adalah ujian nyata keberpihakan negara pada rakyatnya.

 


Ketua II DPP LPK-RI Soroti Maraknya Pemasangan Stiker oleh Bank di Rumah Nasabah



Pemalang,cyberSBI – Praktik perbankan yang menempelkan stiker di rumah nasabah yang mengalami tunggakan kredit semakin marak dan memicu kontroversi di masyarakat. Banyak nasabah mengeluhkan tindakan tersebut karena dianggap mempermalukan dan merugikan mereka. Menanggapi hal ini, Lembaga Perlindungan Konsumen Republik Indonesia (LPK-RI) menegaskan bahwa tindakan tersebut berpotensi melanggar hukum serta hak-hak konsumen.

 

Agung Sulistio, selaku Ketua II DPP LPK-RI, menyoroti bahwa tindakan pemasangan stiker oleh bank atau lembaga pembiayaan bukan hanya tidak beretika, tetapi juga berpotensi bertentangan dengan regulasi yang berlaku di Indonesia.

 

"Menempelkan stiker di rumah nasabah yang menunggak bisa dikategorikan sebagai pencemaran nama baik serta intimidasi. Perbankan seharusnya mengikuti aturan dalam proses penagihan, bukan dengan mempermalukan nasabah di depan umum," ujar Agung Sulistio.

 

Ia juga menegaskan bahwa ada beberapa regulasi yang dapat dijadikan landasan hukum bagi nasabah yang merasa dirugikan, antara lain Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

 

Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) Pasal 4 mengatur bahwa konsumen berhak mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan jasa dan Pasal 18 melarang pencantuman klausula yang merugikan konsumen.

 

Melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 310 KUHP menyebutkan bahwa pencemaran nama baik dapat dikenakan sanksi pidana.

 

Melanggar Regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK)/ POJK No. 6/POJK.07/2022 mengatur tentang perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan, termasuk dalam proses penagihan utang dan melanggar Surat Edaran OJK No. 17/SEOJK.07/2018 menekankan bahwa metode penagihan harus dilakukan secara etis tanpa memberikan tekanan psikologis yang berlebihan kepada nasabah.

LPK-RI memberikan beberapa rekomendasi bagi nasabah yang merasa dirugikan akibat pemasangan stiker oleh pihak bank,

 

“Konsumen/ nasabaa dapat melayangkan komplain resmi dan meminta penjelasan serta penyelesaian dari pihak bank. Melaporkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan mengadukanan melalui kanal resmi OJK agar regulator dapat mengambil tindakan terhadap praktik yang tidak sesuai etika ini,” ujarnya.

 

“Konsumen juga bisa mengadukan ke Lembaga Perlindungan Konsumen. LPK-RI siap menerima dan menindaklanjuti laporan terkait pelanggaran hak konsumen oleh lembaga perbankan,” lanjutnya..

 

Jika nasabah merasa mengalami kerugian yang signifikan, nasabah bisa mempertimbangkan langkah hukum, baik melalui gugatan perdata maupun pidana,” katanya..

 

LPK-RI menegaskan bahwa pemasangan stiker oleh bank di rumah nasabah adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, Ketua II DPP LPK-RI mengimbau agar lembaga perbankan mengedepankan pendekatan yang lebih manusiawi dan sesuai dengan regulasi dalam menagih kewajiban kredit.

 

Tim


Korupsi Pertamax Oplosan Rp 193,7 Triliun Patut Dikategorikan Pidana Subversif (Bagian-1)

Opini oleh Kisman Latumakulita – Wartawan Senior FNN

Jaksa Agung ST Burhanudin dan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah seharusnya fokus pada penyelidikan dan penyidikan skandal korupsi Pertamax oplosan ini, bukan justru menjadi juru bicara atau pembela bagi kakak-beradik Garibaldi (Boy) Thohir dan Erick Thohir. Jika ada klarifikasi atau pembelaan, biarkan pihak keluarga atau perwakilan ADARO Group yang menyampaikannya.

Sebagai perpanjangan tangan Presiden, Kejaksaan Agung memiliki tanggung jawab besar untuk menindaklanjuti janji kampanye Presiden Prabowo, yaitu memberantas korupsi tanpa pandang bulu, bahkan jika para pelaku harus dikejar hingga ke Antartika. Janji ini harus benar-benar dijalankan, bukan hanya sekadar retorika politik.

Ada dugaan bahwa kasus korupsi Pertamax RON 92 oplosan senilai Rp 193,7 triliun ini akan ditangani dengan cara yang sama seperti kasus korupsi timah Rp 300 triliun—hanya menjerat pelaku kecil sementara dalang besarnya dibiarkan bebas. Dalam kasus timah, Kejaksaan Agung diduga tidak serius, bahkan ada indikasi negosiasi dengan para tersangka terkait ancaman hukuman.

Bukti nyata ketidaktegasan tersebut terlihat pada tuntutan ringan terhadap Harvey Moeis, yang hanya diminta menjalani 12 tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar dan pengembalian uang Rp 210 miliar—jumlah yang jauh dari total kerugian negara sebesar Rp 300 triliun. Akibatnya, majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis ringan, yakni 6,5 tahun penjara.

Reaksi keras Presiden Prabowo terhadap hukuman yang dianggap tidak sebanding dengan nilai korupsi akhirnya mendorong Pengadilan Tinggi Jakarta memperberat hukuman Harvey Moeis menjadi 20 tahun penjara, serta menaikkan jumlah uang pengganti menjadi Rp 420 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa tekanan publik dan pemimpin negara, penanganan kasus korupsi bisa saja tidak berjalan optimal.

Skandal korupsi Pertamax RON 92 oplosan yang mencapai Rp 193,7 triliun ini harus dikategorikan sebagai tindak pidana subversif. Mengapa demikian? Karena dampaknya luas terhadap masyarakat, mengganggu stabilitas ekonomi, dan berpotensi memicu krisis politik—sesuatu yang telah terbukti di banyak negara lain.

Tugas Kejaksaan Agung bukan hanya sebatas menangani kasus ini secara prosedural, tetapi juga mencari celah hukum yang memungkinkan pengkategorian kasus ini sebagai tindakan subversif. Jangan sampai Kejaksaan kembali bermain-main dengan hukum seperti dalam kasus timah.

Masyarakat membayar pajak untuk membiayai operasional Kejaksaan, bukan untuk membela kepentingan segelintir elit. Oleh karena itu, tidak pantas jika Kejaksaan Agung justru menjadi juru klarifikasi dan pembela bagi Boy Thohir dan Erick Thohir, apalagi jika mereka belum berstatus tersangka.

Jika ada opini publik di media sosial yang menyoroti keterlibatan Boy Thohir dan Erick Thohir, itu adalah hak masyarakat. Kejaksaan seharusnya menerima suara publik sebagai bentuk dukungan dalam upaya pemberantasan korupsi, bukan malah buru-buru melakukan klarifikasi yang justru menimbulkan kecurigaan.

Masyarakat masih percaya pada institusi Kejaksaan, meskipun ada beberapa oknum di puncak kepemimpinan yang terkesan enggan meninggalkan kebiasaan lama dalam menangani kasus-kasus besar. Jika Kejaksaan tidak ingin kehilangan kepercayaan publik, maka sudah saatnya bekerja dengan serius, transparan, dan tanpa kepentingan tersembunyi.

(Bersambung…)

Peredaran Telur Infertil di Kuningan dan Majalengka, Pihak Terkait Bungkam – PT Aretha Nusantara Farm Awirarangan Terancam Ditutup dan Dikenai Sanksi Pidana

KUNINGAN-  Praktik jual beli telur infertil yang melibatkan PT Aretha Nusantara Farm Awirarangan, Kuningan—anak perusahaan PT AS PUTRA milik pengusaha H. Dudung Dulajid, seorang crazy rich asal Kuningan—bersama seorang pengusaha dari Ciamis, Bana Sobana alias Doni, kini menjadi sorotan.

Transaksi ini diketahui telah berlangsung lebih dari tujuh tahun dengan harga pembelian sekitar Rp 180 per butir. Berdasarkan investigasi di lapangan, telur infertil tersebut kemudian dijual ke pabrik pengolahan kue kering di Desa Rawa, Cingambul, Majalengka, dengan harga mencapai Rp 8.000 hingga Rp 9.000 per kilogram.

Telur yang diproduksi oleh PT Aretha Nusantara Farm ini dijual dalam jumlah besar oleh Bana Sobana alias Doni ke pabrik pengolahan kue. 

Produk kue yang dihasilkan kemudian didistribusikan ke berbagai toko di wilayah Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan). Produk ini dikemas tanpa merek dan diduga dijual kembali ke toko ritel seperti Alfamart dan Indomaret di wilayah Jabodetabek setelah melalui proses repackaging.

Telur infertil, yang tidak dapat berkembang menjadi embrio, kerap diperdagangkan secara ilegal meskipun penggunaannya untuk konsumsi manusia harus melalui proses pengolahan yang sesuai standar keamanan pangan. 

Namun, berdasarkan keterangan warga, pihak PT Aretha Nusantara Farm Awirarangan serta aparat desa setempat tampaknya tidak mengambil tindakan untuk menghentikan praktik ini, sehingga menimbulkan kekhawatiran terkait dampak kesehatan bagi konsumen yang mengonsumsi produk berbahan dasar telur infertil ini.

Peredaran telur infertil yang tidak memenuhi standar keamanan pangan dapat dikenai sanksi berdasarkan beberapa regulasi yang berlaku di Indonesia, antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan

Pasal 139 ayat (1) melarang produksi dan peredaran pangan yang tidak memenuhi standar keamanan pangan.

Pelanggaran terhadap aturan ini dapat berujung pada pidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda hingga Rp 5 miliar.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan Pangan

Pasal 14 menyatakan bahwa semua produk pangan yang beredar harus memenuhi standar keamanan yang ditetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Jika telur infertil ini diperdagangkan tanpa memenuhi standar yang berlaku, sanksinya dapat berupa penutupan usaha serta hukuman pidana.

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Perlunya pengawasan ketat terhadap produk pangan yang berisiko membahayakan kesehatan masyarakat.

Pelaku yang terbukti melanggar aturan ini dapat dikenai sanksi pidana dan hukuman administratif.

Jika terbukti terlibat dalam perdagangan telur infertil yang tidak memenuhi standar keamanan pangan, maka PT Aretha Nusantara Farm Awirarangan dan Bana Sobana alias Doni berpotensi menghadapi tindakan hukum, termasuk hukuman pidana dan denda. 

Selain itu, pabrik pengolahan kue kering di Desa Rawa, Cingambul, Majalengka, yang menggunakan telur infertil sebagai bahan baku, juga berisiko ditutup dan dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

Masyarakat diimbau untuk lebih berhati-hati dalam memilih produk pangan dan memastikan keamanan serta keasliannya sebelum dikonsumsi. Kesadaran konsumen dan penegakan hukum dari pihak berwenang sangat diperlukan untuk menghentikan praktik ilegal ini demi melindungi kesehatan publik.

Tembusan:

1. Kapolri
2. Kejaksaan Tinggi
3. Polda Jawa Barat
4. Kementerian Pertanian
5. BPOM
6. Dinas Perindustrian dan Perdagangan

PT Pasangkayu Dilaporkan ke Kejaksaan Agung atas Dugaan Perambahan Hutan dan Penyerobotan Lahan



Pasangkayu, Sulbar, cyberSBI – PT Pasangkayu, anak usaha PT Astra Agro Lestari, dilaporkan ke Kejaksaan Agung RI atas dugaan pengelolaan lahan di luar Hak Guna Usaha (HGU) serta perambahan kawasan hutan di Kabupaten Pasangkayu. Laporan tersebut telah disampaikan langsung ke Kejaksaan Agung oleh aktivis Bung Dedi dari Peoples Letter, yang mencurigai adanya praktik mafia tanah dan keterlibatan pihak tertentu di daerah tersebut.

 

Bung Dedi mengonfirmasi pengajuan laporan ini melalui pesan WhatsApp kepada tim media. Surat laporan ditujukan kepada Jaksa Agung RI, dengan tembusan kepada Wakil Jaksa Agung serta beberapa Jaksa Agung Muda. Menurutnya, langkah ini bertujuan untuk menegakkan keadilan ekologis dan melindungi sisa hutan yang masih ada di Pasangkayu. Kasus ini juga akan terus dipantau oleh Gabungan Media Online dan Cetak Ternama (GMOCT).

 

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 serta Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 56/Menhut-II/2014 menegaskan peran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan. Warga berkewajiban melindungi hutan dari kerusakan dan bekerja sama dengan polisi kehutanan. Dugaan pelanggaran oleh PT Pasangkayu diperkuat dengan ditemukannya pos kehutanan di dalam perkebunan sawit serta tanda "Hutan Lindung" pada pohon sawit milik perusahaan.

 

Perusahaan ini berpotensi melanggar Pasal 98 junto Pasal 116 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), dengan ancaman pidana hingga 10 tahun penjara serta denda Rp 10 miliar. Selain itu, mereka juga dapat dikenakan sanksi tambahan berupa pemulihan lingkungan. Oleh karena itu, masyarakat dan aktivis lingkungan mendesak aparat penegak hukum untuk meninjau kembali izin PT Pasangkayu secara menyeluruh.

 

PT Pasangkayu mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan pada tahun 1987 dan 1992, dan baru mendapatkan izin pada tahun 1996 dengan luas 5.008 hektar untuk perkebunan kelapa sawit. Namun, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 98/Kpts-II/1996, lahan yang telah dikelola masyarakat seharusnya tidak termasuk dalam izin tersebut. Meski demikian, PT Pasangkayu diduga tetap menggarap lahan yang seharusnya dikecualikan, menyebabkan konflik dengan warga sejak 1990. Saat ini, perusahaan tersebut diduga mengelola hampir 11.000 hektar, jauh melebihi izin yang diberikan.

 

Masyarakat menuntut PT Pasangkayu mengembalikan minimal 748 hektar lahan (sekitar 10% dari area di luar HGU) serta meminta penegakan hukum berdasarkan Pasal 89 ayat (1) huruf a junto Pasal 94 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

 

Ancaman pidana bagi pelanggaran ini mencapai 8-15 tahun penjara serta denda hingga Rp 100 miliar. Selain PT Pasangkayu, perusahaan lain seperti PT Mamuang dan PT Letawa juga diduga mengelola lahan di luar batas konsesi tanpa persetujuan masyarakat (FPIC).

Hasto, Karen, dan Jokowi


Opini oleh: Muslim Arbi - Direktur Gerakan Perubahan

Pernyataan Karen Agustiawan, mantan Direktur Utama Pertamina, yang mengungkap bahwa tindakannya dilakukan atas perintah atasan, yakni Jokowi, telah mengejutkan publik.

Sementara itu, Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI-P, juga menegaskan keterlibatan Jokowi dalam kasus Formula E yang bertujuan untuk menetapkan Anies Baswedan sebagai tersangka. Selain itu, ia juga menyebut adanya dana sebesar 3 juta dolar dari Jokowi untuk revisi UU KPK.

Pengakuan dari dua tokoh ini telah menjadi perhatian masyarakat luas. Keterlibatan langsung nama Joko Widodo dalam pernyataan Hasto dan Karen membuat publik heboh.

Dalam sebuah video yang beredar, Hasto Kristiyanto membuat publik tercengang, sementara Karen Agustiawan dengan yakin menegaskan bahwa tindakannya dilakukan atas arahan Presiden Jokowi.

Saat ini, KPK telah menangani kasus ini, dan baik Hasto maupun Karen telah ditahan.

Publik Pertanyakan Sikap KPK Terhadap Jokowi

Namun, yang menjadi tanda tanya besar adalah mengapa KPK belum memanggil atau memeriksa Jokowi, meskipun namanya disebut secara langsung dalam pengakuan dua tokoh tersebut?

Sikap KPK yang tidak segera menindaklanjuti pengakuan ini menimbulkan kecurigaan bahwa lembaga tersebut bersikap diskriminatif dan seolah melindungi Jokowi, yang saat ini tidak lagi menjabat sebagai Presiden.

Publik pun menduga bahwa KPK memiliki kepentingan untuk melindungi Jokowi, terlebih lagi karena komisioner KPK periode 2024-2029 dibentuk oleh Presiden Jokowi di akhir masa jabatannya, yang seharusnya menjadi kewenangan Presiden Prabowo dan DPR hasil Pemilu 2024-2029.

Indikasi KPK Tidak Profesional dan Penuh Kepentingan Politik

Sikap KPK yang enggan menyentuh Jokowi dalam kasus ini semakin memperkuat dugaan bahwa lembaga antirasuah tersebut memiliki konflik kepentingan dan tidak bertindak secara independen.

Dalam kasus Hasto, KPK bahkan mendapat kritik keras dari tim kuasa hukumnya, yang menilai bahwa KPK telah melanggar UU KPK, bersikap arogan, dan bertindak tidak profesional.

Kini, publik semakin yakin bahwa tidak diprosesnya Jokowi dalam kasus ini menjadi bukti kuat bahwa KPK sedang membalas budi kepada mantan Presiden tersebut.

Jika benar demikian, maka KPK tidak lagi bisa dipertahankan sebagai lembaga pemberantasan korupsi yang profesional dan independen. Sebab, lembaga ini telah berubah menjadi alat politik yang digunakan untuk kepentingan Jokowi.

Sebelumnya, dugaan bahwa KPK merupakan alat politik Jokowi hanya terdengar samar-samar di kalangan masyarakat. Namun, dalam kasus Hasto dan Karen, dugaan tersebut semakin jelas terlihat.

KPK kini dianggap melindungi Jokowi, melanggar UU, tidak profesional, dan tidak independen, serta semakin nyata menjadi alat politik mantan Presiden.

Melihat kondisi ini, Presiden Prabowo seharusnya mempertimbangkan untuk membubarkan KPK atau setidaknya membekukan KPK yang ada saat ini dan membentuk lembaga baru yang lebih independen dan profesional dalam memberantas korupsi.

Pemimpin Kaum Terpinggirkan



Catatan Ramadnan Fathul Wahid-  UII Yogyakarta


Masihkah mungkin kita temukan seorang pemimpin yang mengutamakan rakyatnya, terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan?


Kisah Umar bin Khattab r.a. dapat menjadi teladan bagi kita. Pada satu malam, beliau memikul sendiri sekarung gandum ke rumah seorang ibu yang sedang memasak batu untuk menghibur anak-anaknya karena kelaparan. Umar berkata, "Jika rakyatku kelaparan, maka aku adalah orang pertama yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah."


Islam menekankan pentingnya keadilan sosial dan perhatian terhadap kalangan yang lemah. Allah Swt. berfirman: "Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin..." (QS Al-Baqarah: 83).


Pemimpin adalah pelayan rakyat. Rasulullah Muhammad saw. bersabda: "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Abu Nu’aim).


Seorang pemimpin sejati adalah mereka yang mampu memastikan bahwa kebutuhan kalangan miskin dan terpinggirkan terpenuhi.


Perhatian kepada kaum rentan dan terpinggirkan menjadi jalan dalam mewujudkan keadilan sosial. Islam mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama untuk hidup dengan bermartabat. Pemimpin harus memastikan sumber daya negara didistribusikan secara adil.


Selain itu, kesadaran ini akan menghindarkan dari kekacauan sosial. Ketika kaum miskin dan terpinggirkan diabaikan, mereka mungkin akan merasa kecewa dan marah. Hal ini dapat memicu ketidakstabilan dalam masyarakat.


Semua itu merupakan upaya itibak Rasulullah saw. Rasulullah adalah teladan bagi para pemimpin. Beliau selalu memberi perhatian khusus kepada kalangan rentan: miskin, yatim, dan duafa.

Kepemimpinan bukanlah tentang kemewahan atau pujian, tetapi tentang tanggung jawab besar.


Mari, kita doakan dan ingatkan para pemimpin untuk dapat menjalankan amanah dengan baik, memperhatikan rakyat kecil, dan tidak malah melayani segelintir elite, para oligark.


8 Ramadan 1446/8 Maret 2025

Sumber: https://www.instagram.com/p/DG6yZ7EzTMs/

 

 
Copyright © 2025 CYBERSBI

cyberSBI