BREAKING NEWS

Skandal Aditif BBM: Modus Pengoplosan Terselubung yang Merugikan Konsumen



Opini oleh Achmad Nur Hidayat -  Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ


Dalam diskursus terkait dugaan pengoplosan BBM, penambahan aditif oleh PT Pertamina Patra Niaga menjadi sorotan utama. 


Pernyataan yang dikeluarkan oleh petinggi Pertamina bahwa penambahan aditif tidak termasuk dalam kategori pengoplosan justru patut dipertanyakan. 


Secara teknis, praktik ini dapat dikategorikan sebagai pengoplosan, terutama jika dilakukan dengan motif profit-oriented dan bukan dalam rangka meningkatkan layanan publik.


Pembelaan Pertamina dan Bantahannya


Dalam pernyataannya di hadapan DPR, pihak Pertamina menyatakan bahwa penambahan aditif dilakukan bukan untuk menurunkan kualitas atau mengoplos BBM, tetapi untuk meningkatkan performa bahan bakar. 


Mereka menegaskan bahwa proses ini dilakukan sesuai dengan standar dan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah.


Namun, klaim ini perlu dikritisi lebih dalam. Tanpa adanya transparansi yang jelas mengenai komposisi aditif yang ditambahkan serta dampaknya terhadap kualitas BBM, publik tetap berada dalam posisi lemah. 


Pertamina juga tidak menyediakan sarana bagi konsumen untuk menguji secara independen apakah BBM yang mereka beli benar-benar memiliki kualitas dan nilai RON yang dijanjikan. 


Hal ini membuka celah bagi potensi penyalahgunaan, di mana BBM dengan kualitas lebih rendah bisa saja dijual dengan harga lebih tinggi tanpa ada mekanisme kontrol yang kuat.


Definisi Pengoplosan dan Dampak Penambahan Aditif


Pengoplosan dalam konteks BBM umumnya merujuk pada tindakan mencampur atau mengubah komposisi bahan bakar dengan cara yang tidak sesuai dengan regulasi yang ditetapkan. 


Jika pihak swasta atau individu melakukannya, tindakan ini jelas melanggar hukum dan berpotensi dikenakan sanksi pidana. Namun, bagaimana jika entitas yang melakukan tindakan tersebut adalah badan usaha milik negara seperti Pertamina Patra Niaga?


Penambahan aditif dalam BBM tanpa pengungkapan yang transparan kepada publik dan tanpa mekanisme pengawasan yang dapat diakses oleh konsumen jelas merupakan tindakan yang mencederai hak konsumen. 


Publik tidak memiliki alat penguji independen untuk memastikan apakah nilai RON yang dibeli benar-benar sesuai dengan standar yang dijanjikan. Akibatnya, masyarakat berada dalam posisi yang dirugikan karena mereka membeli produk yang spesifikasinya tidak dapat diverifikasi secara mandiri.


Potensi Manipulasi Harga dan Keuntungan Sepihak


Publik berada dalam posisi lemah dalam menentukan kualitas BBM yang mereka beli. 


Tanpa alat penguji independen yang dapat memverifikasi nilai RON BBM, konsumen hanya bisa percaya pada klaim yang diberikan oleh Pertamina. 


Hal ini membuat mereka rentan terhadap praktik manipulasi yang dilakukan oleh penyedia BBM. Oleh karena itu, sangat penting untuk menciptakan sistem pembelian BBM yang lebih adil dan transparan bagi konsumen. 


Pertamina harus bertanggung jawab atas kondisi ini dan memberikan kompensasi kepada publik atas tindakan yang merugikan mereka akibat kejahatan elit Pertamina Patra Niaga.

Sebagai badan usaha, Pertamina tentu memiliki kepentingan untuk memperoleh keuntungan. 


Namun, ketika kepentingan profit ini berbenturan dengan prinsip pelayanan publik, maka perlu ada pengawasan yang ketat. Jika penambahan aditif bertujuan untuk menekan biaya produksi sambil tetap menjual BBM dengan harga premium, maka ada indikasi bahwa Pertamina Patra Niaga lebih mengutamakan keuntungan dibandingkan kualitas dan keadilan bagi konsumen.


Penambahan aditif juga dapat menjadi celah bagi manipulasi harga. Dengan menambahkan zat tertentu, bisa saja terjadi skenario di mana bahan bakar dengan kualitas lebih rendah dikemas ulang sebagai bahan bakar dengan kualitas lebih tinggi, lalu dijual dengan harga yang lebih mahal. 


Hal ini dapat menjadi bentuk eksploitasi terhadap konsumen yang tidak memiliki pilihan lain dalam memenuhi kebutuhan energi mereka.


Selain itu, regulasi yang mengatur transparansi harga dan kualitas BBM harus diperkuat. Pemerintah perlu mewajibkan penyedia BBM untuk memberikan informasi yang lebih jelas mengenai kandungan bahan bakar, efek dari penambahan aditif, serta skema harga yang adil bagi konsumen. Mekanisme pengujian mandiri bagi publik juga harus dikembangkan agar masyarakat dapat memastikan kualitas BBM yang mereka beli sesuai dengan standar yang dijanjikan.


Untuk melindungi hak konsumen, perlu adanya sistem pengawasan independen yang secara rutin melakukan pengujian terhadap BBM yang beredar di pasaran. Tanpa adanya transparansi dan pengawasan yang ketat, praktik manipulasi harga ini akan terus berlangsung dan merugikan masyarakat luas.


Aspek Hukum dan Tanggung Jawab Pertamina


Jika dugaan ini terbukti, maka Pertamina Patra Niaga dapat dianggap melanggar hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Praktik pengoplosan atau perubahan spesifikasi BBM tanpa transparansi dapat mencederai hak konsumen, mengurangi kepercayaan publik terhadap penyedia bahan bakar, dan menimbulkan ketidakpastian dalam kualitas produk yang dijual.


Pasal 8 ayat (1) huruf d UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi barang dan/atau jasa tersebut. Jika Pertamina menjual BBM dengan klaim spesifikasi tertentu tetapi dalam praktiknya mengalami perubahan akibat penambahan aditif tanpa regulasi ketat, maka tindakan ini jelas masuk dalam pelanggaran.


Penting: Petinggi Pertamina Patra Niaga Harus Bertanggung Jawab


Melihat berbagai indikasi di atas, sudah sepatutnya petinggi Pertamina Patra Niaga dimintai pertanggungjawaban hukum. 


Proses hukum terhadap tindakan ini harus ditegakkan secara transparan agar ada kejelasan bagi publik mengenai apakah praktik ini benar-benar bertujuan meningkatkan kualitas BBM atau hanya bentuk eksploitasi untuk keuntungan sepihak.


Sebagai badan usaha milik negara, Pertamina seharusnya mengutamakan pelayanan publik dibandingkan kepentingan profit semata. 


Jika dugaan ini tidak ditindaklanjuti secara hukum, maka ada preseden buruk bagi perlindungan konsumen di Indonesia, di mana praktik semacam ini dapat terus terjadi tanpa konsekuensi yang jelas. Oleh karena itu, investigasi mendalam dan langkah hukum yang tegas harus segera dilakukan untuk memastikan bahwa hak-hak konsumen tetap terjaga.

 
Copyright © 2025 CYBERSBI

cyberSBI