Mobil Ditarik Adira Finance Karena Terlambat Bayar, Konsumen Mengadu ke LPK- RI
Kejagung Ungkap Dugaan Korupsi Minyak Mentah Pertamina, Kerugian Negara Capai Rp 193,7 Triliun
![]() |
Dirut Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, salah satu tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina. (Foto: Puspenkum Kejagung) |
Jakarta, cyberSBI – Kejaksaan Agung mengungkap dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero) periode 2018-2023 yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun.
Praktik ilegal dalam impor minyak mentah dan produk kilang ini berdampak besar terhadap keuangan negara dan subsidi energi.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers Senin (24/2) yang disiarkan melalui YouTube Kejaksaan Agung, menyampaikan bahwa kerugian tersebut berasal dari beberapa faktor utama.
"Kerugian akibat ekspor minyak mentah dalam negeri mencapai Rp 35 triliun, sementara impor minyak mentah melalui perantara atau broker menyebabkan kerugian Rp 2,7 triliun," ungkap Abdul Qohar.
Selain itu, impor BBM dengan mekanisme yang sama menimbulkan kerugian sekitar Rp 9 triliun.
Komponen terbesar dalam kerugian ini berasal dari kompensasi energi tahun 2023 yang mencapai Rp 126 triliun, serta subsidi BBM pada tahun yang sama yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 21 triliun.
Skema impor ilegal ini membuat harga dasar BBM lebih tinggi, sehingga meningkatkan beban kompensasi dan subsidi yang harus ditanggung APBN.
Menurut hasil penyidikan, para tersangka diduga mengondisikan produksi kilang dalam negeri agar menurun, sehingga kebutuhan minyak mentah dan produk kilang lebih banyak dipenuhi melalui impor.
Dalam praktiknya, minyak mentah dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sering ditolak dengan alasan nilai ekonomis atau spesifikasi yang dianggap tidak sesuai, meskipun sebenarnya masih dapat diolah dengan metode tertentu.
Ketika produksi dalam negeri ditekan, minyak mentah Indonesia justru diekspor ke luar negeri. Sementara itu, PT Kilang Pertamina Internasional mengimpor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan produksi domestik.
Penyidik juga menemukan adanya pemufakatan jahat antara sejumlah pejabat negara dengan broker sebelum proses tender dilakukan.
Harga pembelian telah disepakati terlebih dahulu demi keuntungan pribadi secara ilegal, sehingga harga impor menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya.
Selain itu, dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, ditemukan praktik blending bahan bakar Ron 90 menjadi Ron 92 di storage atau depo, yang merupakan tindakan yang tidak diperbolehkan.
Penyidik juga mengungkap adanya mark-up kontrak pengiriman (shipping), dengan tambahan biaya ilegal sebesar 13% hingga 15%. Keuntungan dari praktik ini mengalir ke pihak tertentu, sehingga semakin memperbesar kerugian negara.
Berdasarkan temuan ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh tersangka, yaitu RS (Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga), SDS (Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional), YF (Direktur Utama PT Pertamina International Shipping), AP (VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional), MKAR (Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa), DW (Komisaris PT Navigator Khatulistiwa & PT Jenggala Maritim), serta GRJ (Komisaris PT Jenggala Maritim & Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak).
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Saat ini, mereka telah ditahan untuk proses hukum lebih lanjut.
Polres Kepahiang Kembali Selidiki Kasus OTT Dugaan Fee Proyek P3-TGAI
LPK-RI Akan Minta Klarifikasi Disnaker Terkait Hotel Pemalang
Skandal Aditif BBM: Modus Pengoplosan Terselubung yang Merugikan Konsumen
Opini oleh Achmad Nur Hidayat - Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ
Dalam diskursus terkait dugaan pengoplosan BBM, penambahan aditif oleh PT Pertamina Patra Niaga menjadi sorotan utama.
Pernyataan yang dikeluarkan oleh petinggi Pertamina bahwa penambahan aditif tidak termasuk dalam kategori pengoplosan justru patut dipertanyakan.
Secara teknis, praktik ini dapat dikategorikan sebagai pengoplosan, terutama jika dilakukan dengan motif profit-oriented dan bukan dalam rangka meningkatkan layanan publik.
Pembelaan Pertamina dan Bantahannya
Dalam pernyataannya di hadapan DPR, pihak Pertamina menyatakan bahwa penambahan aditif dilakukan bukan untuk menurunkan kualitas atau mengoplos BBM, tetapi untuk meningkatkan performa bahan bakar.
Mereka menegaskan bahwa proses ini dilakukan sesuai dengan standar dan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah.
Namun, klaim ini perlu dikritisi lebih dalam. Tanpa adanya transparansi yang jelas mengenai komposisi aditif yang ditambahkan serta dampaknya terhadap kualitas BBM, publik tetap berada dalam posisi lemah.
Pertamina juga tidak menyediakan sarana bagi konsumen untuk menguji secara independen apakah BBM yang mereka beli benar-benar memiliki kualitas dan nilai RON yang dijanjikan.
Hal ini membuka celah bagi potensi penyalahgunaan, di mana BBM dengan kualitas lebih rendah bisa saja dijual dengan harga lebih tinggi tanpa ada mekanisme kontrol yang kuat.
Definisi Pengoplosan dan Dampak Penambahan Aditif
Pengoplosan dalam konteks BBM umumnya merujuk pada tindakan mencampur atau mengubah komposisi bahan bakar dengan cara yang tidak sesuai dengan regulasi yang ditetapkan.
Jika pihak swasta atau individu melakukannya, tindakan ini jelas melanggar hukum dan berpotensi dikenakan sanksi pidana. Namun, bagaimana jika entitas yang melakukan tindakan tersebut adalah badan usaha milik negara seperti Pertamina Patra Niaga?
Penambahan aditif dalam BBM tanpa pengungkapan yang transparan kepada publik dan tanpa mekanisme pengawasan yang dapat diakses oleh konsumen jelas merupakan tindakan yang mencederai hak konsumen.
Publik tidak memiliki alat penguji independen untuk memastikan apakah nilai RON yang dibeli benar-benar sesuai dengan standar yang dijanjikan. Akibatnya, masyarakat berada dalam posisi yang dirugikan karena mereka membeli produk yang spesifikasinya tidak dapat diverifikasi secara mandiri.
Potensi Manipulasi Harga dan Keuntungan Sepihak
Publik berada dalam posisi lemah dalam menentukan kualitas BBM yang mereka beli.
Tanpa alat penguji independen yang dapat memverifikasi nilai RON BBM, konsumen hanya bisa percaya pada klaim yang diberikan oleh Pertamina.
Hal ini membuat mereka rentan terhadap praktik manipulasi yang dilakukan oleh penyedia BBM. Oleh karena itu, sangat penting untuk menciptakan sistem pembelian BBM yang lebih adil dan transparan bagi konsumen.
Pertamina harus bertanggung jawab atas kondisi ini dan memberikan kompensasi kepada publik atas tindakan yang merugikan mereka akibat kejahatan elit Pertamina Patra Niaga.
Sebagai badan usaha, Pertamina tentu memiliki kepentingan untuk memperoleh keuntungan.
Namun, ketika kepentingan profit ini berbenturan dengan prinsip pelayanan publik, maka perlu ada pengawasan yang ketat. Jika penambahan aditif bertujuan untuk menekan biaya produksi sambil tetap menjual BBM dengan harga premium, maka ada indikasi bahwa Pertamina Patra Niaga lebih mengutamakan keuntungan dibandingkan kualitas dan keadilan bagi konsumen.
Penambahan aditif juga dapat menjadi celah bagi manipulasi harga. Dengan menambahkan zat tertentu, bisa saja terjadi skenario di mana bahan bakar dengan kualitas lebih rendah dikemas ulang sebagai bahan bakar dengan kualitas lebih tinggi, lalu dijual dengan harga yang lebih mahal.
Hal ini dapat menjadi bentuk eksploitasi terhadap konsumen yang tidak memiliki pilihan lain dalam memenuhi kebutuhan energi mereka.
Selain itu, regulasi yang mengatur transparansi harga dan kualitas BBM harus diperkuat. Pemerintah perlu mewajibkan penyedia BBM untuk memberikan informasi yang lebih jelas mengenai kandungan bahan bakar, efek dari penambahan aditif, serta skema harga yang adil bagi konsumen. Mekanisme pengujian mandiri bagi publik juga harus dikembangkan agar masyarakat dapat memastikan kualitas BBM yang mereka beli sesuai dengan standar yang dijanjikan.
Untuk melindungi hak konsumen, perlu adanya sistem pengawasan independen yang secara rutin melakukan pengujian terhadap BBM yang beredar di pasaran. Tanpa adanya transparansi dan pengawasan yang ketat, praktik manipulasi harga ini akan terus berlangsung dan merugikan masyarakat luas.
Aspek Hukum dan Tanggung Jawab Pertamina
Jika dugaan ini terbukti, maka Pertamina Patra Niaga dapat dianggap melanggar hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Praktik pengoplosan atau perubahan spesifikasi BBM tanpa transparansi dapat mencederai hak konsumen, mengurangi kepercayaan publik terhadap penyedia bahan bakar, dan menimbulkan ketidakpastian dalam kualitas produk yang dijual.
Pasal 8 ayat (1) huruf d UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi barang dan/atau jasa tersebut. Jika Pertamina menjual BBM dengan klaim spesifikasi tertentu tetapi dalam praktiknya mengalami perubahan akibat penambahan aditif tanpa regulasi ketat, maka tindakan ini jelas masuk dalam pelanggaran.
Penting: Petinggi Pertamina Patra Niaga Harus Bertanggung Jawab
Melihat berbagai indikasi di atas, sudah sepatutnya petinggi Pertamina Patra Niaga dimintai pertanggungjawaban hukum.
Proses hukum terhadap tindakan ini harus ditegakkan secara transparan agar ada kejelasan bagi publik mengenai apakah praktik ini benar-benar bertujuan meningkatkan kualitas BBM atau hanya bentuk eksploitasi untuk keuntungan sepihak.
Sebagai badan usaha milik negara, Pertamina seharusnya mengutamakan pelayanan publik dibandingkan kepentingan profit semata.
Jika dugaan ini tidak ditindaklanjuti secara hukum, maka ada preseden buruk bagi perlindungan konsumen di Indonesia, di mana praktik semacam ini dapat terus terjadi tanpa konsekuensi yang jelas. Oleh karena itu, investigasi mendalam dan langkah hukum yang tegas harus segera dilakukan untuk memastikan bahwa hak-hak konsumen tetap terjaga.
AHY vs GRR Kata Prabowo? Ini Sebenarnya Prediksi Saya Tahun 2018 Silam
Opini oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes *)
Semalam (Selasa, 25/02/25) bertempat di The Ritz-Carlton Hotel, Pacific Place SCBD, Jakarta Selatan, Presiden Prabowo Subianto bercanda (namun bisa diartikan juga sekaligus memprediksi) bahwa Ketum Partai Demokrat / PD Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) akan bersaing dengan Gibran Rakabuming Raka (GRR). Candaan Prabowo ini tentu mendapat respons meriah dari Audiens yang hadir, apalagi mereka duduk berdampingan saat mendengarkan Pidato Presiden malam tadi.
Namun bila diingat, candaan Presiden ini sebenarnya sudah pernah saya kemukakan, bahkan 7 (tujuh) tahun silam, tepatnya Sabtu, 21/04/18 dalam sebuah diskusi di Jakarta. Fakta / bukti jejak digitalnya masih dapat dibaca di media mainstream saat itu: news.detik.com/berita/d-3983334/seloroh-roy-suryo-ahy-vs-gibran-rakabuming-di-pilpres-2024 . Meski memang saat tersebut yang saya prediksikan adalah di Pilpres 2024 yang masih berjarak 6 (enam) tahun sesudahnya.
Bila diingat sebenarnya, saat tahun 2018 itu GRR belum menjadi Walikota Solo, bahkan masih menjadi Penjual Martabak "Markobar (Martabak Kota Barat)" dan Katering Chilli-Pari di Solo, sedangkan AHY juga belum menjadi Ketum PD, namun prediksi tersebut memang baru mulai terasa sekarang. Bahwa fakta memang menunjukkan baik AHY maupun GRR dalam Pilpres 2024 kemarin belum menjadi calon, namun setidaknya semalam prediksi saya tersebut seolah-oleh seperti "diulangi" oleh Prabowo saat memberikan Sambutan di Kongres PD.
Saat itu posisi masih Wakil Ketua Umum (Waketum) di Partai yang pernah membersamai saya selama 15 (lima belas) tahun, sebelum mengundurkan diri secara resmi, bukan sekedar "minggat" apalagi dipecat, dengan bersurat kepada Ketum PD saat itu, Pak SBY lima tahun silam, tepatnya 11/03/2020 alias di hari peringatan "Supersemar". Jadi prediksi yang semalam seolah "diulangi" oleh Pak Prabowo bukan kaleng-kaleng, karena semua ada pengamatan dan Pranotomongso (= istilah Jawa untuk membaca tanda-tanda jaman)-nya.
Sekalilagi meski dulu yang saya sebut adalah tahun 2024, namun rasanya hanya soal waktu saja, entah 2029, 2034 atau sesudahnyapun, prediksi AHY vs GRR akan tetap aktual. Meski dengan kebulatan tekad pencalonan kembali Pak Prabowo sebagai Capres 2029 oleh Gerindra saat KLB kemarin, rivalitas ini dirasa akan semakin menarik dan memberikan alternatif yang lebih varuatif kepada masyarakat untuk menyalurkan aspirasi dan pilihan presidennya mendatang.
Belum lagi kalau melihat putusan MK yang mencabut Presidential threshold 20% sebelumnnya, sehingga dengan 0% sekarang semua Partai bisa mencalonkan Capresnya sendiri-sendiri, tampaknya persaingan akan semakin seru. Masih ada tokoh yang layak diperhitungkan lainnya seperti Anies Rasyid Baswedan (ARB) yang tidak bisa dipandang sebelah mata karena memang secara kapasitas dan kapabilitas tidak kaleng-kaleng juga, kalau kata anak sekarang.
Kembali pada posisi duduk antara AHY dan GRR yang berdampingan semalam, mengingatkan kita pada Novel berjudul "Sitting with the Enemy" yang ditulis oleh Sarah Anne Edwards dan diterbitkan oleh BookSurge Publishing pada 22/06/07. Isinya mengisahkan pasangan suami istri, Rose dan Mark Whitman, yang memiliki kehidupan mewah dan serba cepat, namun merasa hampa dan kehilangan makna. Rose dan Mark terlibat dalam serangkaian peristiwa yang memaksa mereka menghadapi "musuh" di dalam diri mereka sendiri dan di sekitar mereka. Novel ini mengeksplorasi tema koneksi manusia dengan alam, pencarian makna hidup, dan dinamika komunitas dalam menghadapi perubahan.
Novel diatas memang kurang populer dibandingkan dengan judul lain yang mirip, yakni "Sleeping with the Enemy" dimana sudah diangkat menjadi salahsatu judul Film layar lebar dengan bintang terkenal Julia Roberts, Patrick Bergin dan Kevin Anderson yang disutradarai oleh Joseph Ruben, serta diproduseri oleh Leonard Goldberg pada 08/02/91. Film bergenre thriller psikologis ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Nancy Price yang diterbitkan pada tahun 1987. Jadi baik "Sitting with the Enemy" maupun "Sleeping with the Enemy" keduanya cocok untuk menggambarkan peristiwa diatas.
Presiden Prabowo juga mengatakan bahwa dulu bersaing dengan Jokowi saat Pilpres 2014 dan 2019, namun ketika dia ditawari untuk "bersama" dengan pesaingnya tersebut di tahun 2019 sebagai Menteri Pertahanan, tawaran tersebut tidak ditolaknya. Meski sekarang beredar pula di SocMed Kartun AI yang menggambarkan bagaimana Macan Asia dan Kodok Solo dalam berbagai versi, hal tersebut tidak bisa dihindari sebagai sebuah realita politik yang dihadapi oleh Indonesia saat ini.
Kesimpulannya, mau AHY vs GRR vs PS vs ARB atau vs siapa lagi di tahun 2029 mendatang (atau bahkan sebelumnya bila terjadi hal-hal yang luar biasa), sebenarnya masyarakat tidak terlalu berkepentingan Siapa saja yang terbaik asal bisa membawa bangsa ini melangkah gagah kedepannya menyongsong Indonesia Emas 2045, bukan membiarkan #IndonesiaGelap seperti sekarang. Tentu jangan lupa tuntutan rakyat untuk #AdiliJokowi tetap harus dilaksanakan, bagaimanapun juga fakta rilis OCCRP tidak bisa diabaikan, juga #MakzulkanFufufafa akibat proses cacat putusan MK yang menghasilkan Anak Haram Konstitusi itu ...
*) - Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes - Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen - Jakarta, Rabu 26 Februari 2025
Pengamat Kebijakan Publik Minta Kejagung Tindaklanjuti Nama Pejabat Kementerian KLHK Terkait Korupsi Tata Kelola Perkebunan Kelapa Sawit
JAKARTA, kabarSBI – Pengamat kebijakan publik dari Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie, mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk segera mengumumkan nama-nama pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang diduga terlibat dalam kasus korupsi tata kelola perkebunan kelapa sawit periode 2005-2024.
“Keterbukaan dalam kasus ini sangat penting agar publik tidak terus bertanya-tanya, terutama setelah penggeledahan di kantor KLHK beberapa pekan lalu, yang hingga kini belum berujung pada penetapan tersangka,” ujar Jerry, Selasa (25/2/2025).
Jerry menegaskan bahwa Jaksa Agung ST Burhanuddin sebelumnya telah menyatakan bahwa nama-nama tersangka akan diumumkan dalam waktu dekat. Namun hingga saat ini, Kejagung belum mengungkap identitas pejabat KLHK yang terlibat. Ia meminta agar Kejagung tidak ragu-ragu untuk menjerat pejabat yang terbukti bersalah, terutama jika telah ditemukan dua alat bukti yang cukup dalam penggeledahan tersebut.
Lebih lanjut, Jerry melihat pengungkapan kasus ini sebagai pintu masuk bagi Kejagung untuk membongkar kasus korupsi lainnya yang melibatkan pejabat negara. Ia juga mengingatkan bahwa kepercayaan publik terhadap Kejagung bisa menurun jika penanganan kasus ini dianggap lambat atau tidak transparan.
Menurutnya, di era Presiden Jokowi, kasus dugaan korupsi di KLHK belum sepenuhnya terbongkar. Oleh karena itu, ia berharap di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Kejagung dapat lebih tegas dalam mengungkap nama-nama tersangka.
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam konferensi pers (7 Januari 2025) telah mengonfirmasi bahwa ada pejabat KLHK yang terjerat dalam kasus ini. Kejagung bahkan disebut telah menetapkan pejabat eselon I dan II dari KLHK sebagai tersangka. Saat ini, penyidik sedang mendalami berbagai perbuatan melawan hukum yang ditemukan dalam kasus tersebut, dengan rencana pengumuman resmi dalam waktu sekitar satu bulan.
Kasus ini sendiri melibatkan dugaan korupsi dalam penguasaan dan pengelolaan lahan perkebunan kelapa sawit selama hampir dua dekade. Kejagung telah melakukan penggeledahan di sejumlah ruangan KLHK serta menyita dokumen penting, barang bukti elektronik, dan berbagai data terkait.
Reporter: Ali