Opini leh Achmad Nur Hidayat- Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Kasus pengurangan isi kemasan Minyakita dan praktik
penjualan di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) adalah ironi di tengah upaya
pemerintah menghadirkan minyak goreng murah bagi rakyat.
Situasi ini mencederai hak masyarakat atas pangan yang
terjangkau. Praktik curang ini tidak terjadi tanpa sebab. Salah satu faktor
utama adalah kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO), bahan baku minyak goreng,
yang melonjak dalam beberapa bulan terakhir dan oknum yang cari untung sendiri.
Ini Alasan Oknum Melakukan Kecurangan Minyakita!
Ketika harga CPO melampaui angka keekonomian, produsen
Minyakita menghadapi dilema antara mengikuti ketentuan HET atau menyesuaikan
harga demi keberlangsungan produksi.
Sayangnya, sebagian memilih jalan pintas: mengurangi
isi kemasan atau menaikkan harga di atas HET. Ini bukti bahwa regulasi harga
yang tak adaptif dengan realitas pasar membuka ruang bagi praktik nakal.
Tak kalah penting adalah rantai distribusi yang
panjang dan tidak efisien.
Dari produsen, minyak goreng harus melewati banyak
tangan hingga sampai ke konsumen, mulai dari distributor besar, distributor
kecil, hingga pengecer.
Dalam setiap rantai ini, potensi markup harga sangat
besar.
Ketika pengawasan negara lemah, celah ini
dieksploitasi untuk keuntungan sepihak. Praktik ini semakin memburuk dengan
lemahnya tindakan hukum. Fakta bahwa ada produsen Minyakita yang beroperasi
tanpa izin edar atau SNI adalah bukti nyata lemahnya pengawasan pemerintah.
Ketidakhadiran negara dalam mengontrol rantai pasok
minyak goreng rakyat menjadi penyebab utama mengapa kecurangan semacam ini bisa
tumbuh subur.
Tata Kelola Produksi dan Distribusi Minyakita
Bermasalah, Tidak Ada Upaya Perbaikan
Jika ditelisik, persoalan Minyakita adalah cermin dari
tata kelola pangan nasional yang rapuh.
Minyakita seharusnya menjadi jaring pengaman sosial
dalam sektor pangan, memastikan rakyat kecil bisa memperoleh minyak goreng
berkualitas dengan harga murah.
Namun, desain distribusi yang kompleks dan tidak
efisien menjadi persoalan serius. Alih-alih mendistribusikan langsung ke pasar
rakyat atau koperasi konsumen, Minyakita banyak dikendalikan oleh tangan-tangan
swasta yang tidak seluruhnya berpihak kepada rakyat.
Kebijakan Minyakita yang tidak berbasis pada data
distribusi riil menyebabkan produk ini sulit diawasi.
Minimnya integrasi sistem informasi logistik minyak
goreng membuat distribusi tidak transparan dan sulit dilacak.
Pemerintah gagal memastikan bahwa Minyakita sampai
kepada sasaran yang tepat.
Belum lagi, kebijakan penetapan HET yang kaku dan
tidak memperhitungkan kenaikan bahan baku membuat produsen menghadapi tekanan
biaya produksi.
Akibatnya, muncul fenomena “menyelamatkan bisnis”
dengan mengorbankan konsumen, padahal tanggung jawab sosial seharusnya menjadi
prioritas dalam penyediaan pangan pokok bersubsidi.
Tak kalah penting, tata kelola produksi Minyakita juga
memperlihatkan ketimpangan kekuatan antar pelaku usaha.
Sebagian besar pasokan Minyakita masih diproduksi oleh
perusahaan-perusahaan besar yang sejatinya memiliki kapasitas memenuhi standar,
tetapi memilih abai. Sementara itu, pelaku kecil yang sebenarnya dapat
digandeng untuk produksi berbasis koperasi tidak diberdayakan optimal. Inilah
cerminan ketimpangan sistemik yang perlu dikoreksi.
Abaikan Kepentingan Publik, Ini Yang Harus Diperbaiki
Pemerintah
Dalam menghadapi skandal Minyakita, pemerintah tidak
cukup hanya memberi sanksi kepada pelaku, tetapi harus melakukan perombakan
besar-besaran dalam tata kelola produksi dan distribusi minyak goreng rakyat.
Negara harus berpihak penuh pada masyarakat, terutama
kelompok miskin yang sangat bergantung pada minyak goreng murah.
Pertama, pemerintah harus segera melakukan evaluasi
mendalam terhadap HET Minyakita.
Jika harga bahan baku melonjak, HET harus disesuaikan
agar realistis. Namun, solusi ini harus dibarengi dengan skema subsidi langsung
kepada konsumen atau pelaku usaha mikro agar mereka tetap memperoleh minyak goreng
dengan harga terjangkau tanpa memberatkan produsen.
Kedua, pemerintah harus memotong rantai distribusi
panjang yang membuka celah bagi praktik curang.
Minyakita harus didistribusikan melalui saluran resmi
dan dikontrol negara, seperti Bulog, koperasi, atau pasar rakyat yang diawasi
langsung. Sistem distribusi harus berbasis teknologi, dengan digitalisasi
logistik dan pelacakan stok secara real-time.
Hal ini akan memastikan bahwa dari produsen hingga
konsumen, aliran barang dan harga bisa dipantau dengan baik.
Ketiga, negara harus melakukan penegakan hukum tanpa
kompromi. Produsen atau distributor yang terbukti mengurangi takaran atau
menjual di atas HET harus dicabut izinnya, disita asetnya, dan diumumkan kepada
publik.
Kecurangan dalam penyediaan pangan rakyat tidak bisa
ditoleransi. Aparat penegak hukum, khususnya Satgas Pangan, perlu diberikan
kewenangan lebih luas dan sumber daya yang memadai untuk melakukan pengawasan
ketat di seluruh wilayah distribusi Minyakita.
Keempat, perlu penguatan kapasitas produksi Minyakita
yang berbasis koperasi atau usaha mikro lokal.
Negara harus mendorong pelibatan koperasi dan UMKM
dalam produksi minyak goreng rakyat, agar distribusi tidak dimonopoli
segelintir perusahaan besar. Keterlibatan koperasi juga bisa menjadi solusi
jangka panjang untuk menjaga harga stabil sekaligus memberdayakan ekonomi
rakyat.
Kelima, pemerintah harus membuka kanal pengaduan
publik yang responsif dan berbasis data.
Masyarakat harus dapat dengan mudah melaporkan praktik
kecurangan di pasar dan mendapatkan respons cepat. Transparansi harga dan
volume Minyakita di pasar harus menjadi informasi publik yang bisa diakses
semua orang. Ini adalah bentuk kontrol sosial yang bisa memperkuat pengawasan
negara.
Pada akhirnya, Minyakita adalah hak publik. Kegagalan
negara dalam menjaga kualitas, kuantitas, dan harga minyak goreng rakyat
berarti pengkhianatan terhadap tanggung jawab konstitusional untuk menjamin
pangan rakyat.
Negara tidak boleh kalah oleh mafia pangan yang hanya
mementingkan keuntungan semata. Saatnya pemerintah berdiri tegak membela
rakyat, memperbaiki tata kelola Minyakita, dan memastikan bahwa setiap tetes
minyak goreng bersubsidi benar-benar menjadi berkah bagi rakyat, bukan alat
permainan segelintir pengusaha rakus.
Jika pemerintah tidak segera bertindak, maka dampaknya
bukan hanya kerugian ekonomi, tetapi juga kerusakan kepercayaan publik terhadap
negara. Oleh karena itu, pembenahan Minyakita adalah ujian nyata keberpihakan
negara pada rakyatnya.