JAKARTA,cyberSBI – Kanal Youtube Bungkar Habis kali ini
membuka diskusi dengan suasana lebaran, diwarnai pertemuan politik yang
memantik spekulasi dengan dipandu Lukas Suwarso dengan narasumber
pengamat Anthony Budiawan dan Eros Jarot yang tayang Sabtu (13/4/2025).
Salah satu
sorotan kali ini adalah
pertemuan antara Megawati dan Prabowo pada 7 April, yang disusul oleh sejumlah
menteri yang mengunjungi kediaman Presiden Jokowi, seperti Bahlil Lahadalia,
Zulkifli Hasan, Wahyu Trenggono, dan Budi Gunadi Sadikin. Pola kunjungan ini
menimbulkan tanda tanya: apakah ini murni silaturahmi atau ada konsolidasi
politik terselubung?
Pertanyaan etis
pun muncul: sebagai menteri dalam Kabinet Merah Putih di bawah Prabowo, apakah
pertemuan dengan Jokowi itu dilakukan seizin Presiden baru? Bahkan, pernyataan
Menteri Wahyu bahwa dirinya menemui "bos"-nya menambah keganjilan,
mengisyaratkan loyalitas yang belum sepenuhnya bergeser ke pemerintahan baru.
Mas Eros
menyatakan bahwa etika politik saat ini sudah tidak relevan lagi jika berbicara
soal Jokowi. Menurutnya, para menteri yang merasa "tidak nyaman"
mungkin sedang menyembunyikan sesuatu, dan ketegangan politik bisa jadi
cerminan dari kesalahan masa lalu. Dalam pandangan ini, Jokowi masih menjadi
sumber berbagai problem, termasuk dalam konteks transisi kekuasaan.
Dari sisi
ekonomi, Bung Antoni ( Antony Budiawan- Managing
Director PEPS) menyoroti
kondisi yang mengkhawatirkan. Nilai tukar rupiah yang hampir tembus Rp17.000
per dolar, rendahnya penerimaan negara (baru 14,7% dari target triwulanan), dan
ancaman krisis fiskal menjadi isu krusial. Selain itu, bunga utang yang
mencapai 600 triliun atau sekitar seperempat dari pendapatan perpajakan memperlihatkan
kondisi fiskal yang tidak berkelanjutan.
Maka,
pertemuan politik belakangan ini mungkin saja merupakan bagian dari upaya
konsolidasi yang lebih luas, baik dalam rangka transisi kekuasaan maupun dalam
menata ulang arah kebijakan ekonomi di tengah tantangan yang berat.
Para
narasumber juga menyoroti
bahwa masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia saat ini bukanlah sesuatu yang
tiba-tiba muncul, melainkan merupakan akumulasi dari kebijakan yang dinilai
sembrono selama 10 tahun terakhir di bawah pemerintahan Jokowi. Kritik tajam
dilontarkan terutama soal utang negara yang melonjak drastis. Dari tahun 1945
hingga 2014, utang Indonesia hanya sekitar Rp2.600 triliun, namun dalam satu
dekade pemerintahan Jokowi, angka itu membengkak menjadi sekitar Rp8.700 triliun.
Kritik juga
diarahkan pada proyek infrastruktur yang dianggap tidak efisien dan minim
manfaat langsung bagi masyarakat luas, seperti proyek Kereta Cepat
Jakarta-Bandung dan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan. Kereta cepat,
misalnya, disebut menimbulkan kerugian besar karena bunga utangnya saja
mencapai Rp1,8 triliun per tahun, sedangkan pendapatan dari tiket diperkirakan
hanya sekitar Rp1,5 triliun. Ditambah biaya operasional, proyek ini dianggap
tidak mampu menutup biaya bunga, apalagi memberi keuntungan. Pemerintah pun
dinilai tidak konsisten, karena sebelumnya telah mencabut subsidi untuk kereta
ekonomi rakyat namun kini justru berencana mensubsidi proyek kereta cepat yang
merupakan usaha patungan dengan perusahaan asing.
Terkait IKN,
narasumber menyebut bahwa dana besar yang sudah digelontorkan – minimal Rp70
triliun – kini berada di ambang ketidakpastian. Proyek ini bahkan sudah
menunjukkan tanda-tanda mangkrak, meskipun Jokowi sebelumnya menjanjikan bahwa
peringatan 17 Agustus akan bisa dilaksanakan di sana. Klaim tersebut kemudian
dianggap sebagai pembohongan publik karena hingga saat ini belum ada realisasi
nyata.
Pemerintah
juga dikritik karena lebih mengutamakan pencitraan lewat undangan terhadap
selebriti dan buzzer, alih-alih mengundang jurnalis independen untuk melaporkan
perkembangan proyek secara objektif. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar
tentang transparansi dan etika dalam pengelolaan proyek nasional yang menyedot
dana besar dari rakyat.
Dalam bagian
diskusi ini, pembicaraan semakin dalam menyentuh isu etika politik serta
bagaimana kebijakan pembangunan era Jokowi dinilai sebagai bentuk pengelolaan
negara yang sembrono dan manipulatif. Para narasumber menggarisbawahi bahwa
berbagai proyek infrastruktur besar seperti bandara, jalan tol, hingga proyek
Ibu Kota Negara (IKN), banyak yang mengalami kegagalan, terbengkalai, bahkan
berpotensi merugikan negara secara permanen.
Contohnya,
empat bandara besar yang disebut—Kertajati, JB Sudirman, Ngloram, dan
Wiriadinata—semuanya dibangun menggunakan dana APBN, namun tidak memiliki
aktivitas penerbangan yang memadai, bahkan nyaris tidak digunakan. Begitu pula
dengan jalan tol yang dikerjakan oleh BUMN seperti Wijaya Karya, yang kemudian
kesulitan keuangan karena dipaksa menjadi investor, bukan hanya kontraktor.
Kritik juga
mengarah ke kebijakan konsesi bandara kepada pihak asing, yang dianggap sebagai
pelanggaran terhadap kepentingan nasional. Dalam hal pembangunan IKN,
pemerintah dinilai melanggar konstitusi karena membentuk “otorita” tanpa dasar
yang jelas dalam sistem pemerintahan Indonesia. Ini disebut sebagai bentuk
aneksasi wilayah secara sepihak di luar mekanisme pemekaran daerah yang sah.
Lebih
lanjut, narasumber menyatakan bahwa banyak kebohongan publik telah terjadi,
seperti janji-janji investasi asing dari SoftBank, Abu Dhabi, hingga Arab Saudi
yang nyatanya tak kunjung terealisasi. Bahkan proyek SMK (mobil listrik) juga
disebut penuh manipulasi karena tidak sesuai klaim yang dibuat pemerintah.
Proyek
Strategis Nasional (PSN) pun menjadi sorotan. Awalnya dimaksudkan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi, namun banyak proyek tersebut justru dikendalikan
swasta dan menimbulkan konflik lahan, seperti yang terjadi di Rempang, BSD, dan
PIK. Akibatnya, rakyat kecil justru tergusur demi proyek-proyek besar yang
dibungkus dalam nama pembangunan nasional.
Akhirnya,
diskusi kembali pada pokok persoalan: bahwa sumber kerusakan sistemik ini
bukanlah Prabowo, tetapi jejak panjang kebijakan Jokowi. Namun ironisnya,
Presiden Prabowo justru terlihat diam dan tidak memberikan pernyataan tegas
terhadap manuver-manuver politik dari kelompok Jokowi. Pertemuan-pertemuan
politik yang dilakukan kelompok ini pun dicurigai sebagai bagian dari upaya
konsolidasi kekuasaan pasca pemerintahan resmi beralih, namun pengaruh Jokowi
masih sangat terasa.
Diskusi ini
menegaskan bahwa apa yang disampaikan bukan sekadar kritik, tapi berdasarkan
data dan fakta lapangan, yang belum ada bantahan validnya hingga saat ini.
Semua ini menunjukkan adanya masalah serius dalam tata kelola pemerintahan dan
keuangan negara selama satu dekade terakhir.
Para
pembicara juga isu serius
mengenai keberadaan shadow government atau "pemerintahan dalam
pemerintahan" yang mereka anggap masih berpengaruh meski kekuasaan telah
beralih secara formal ke Presiden Prabowo. Pemerintahan bayangan ini
disebut-sebut tetap aktif mengatur arah kebijakan dan mengendalikan dinamika
politik melalui jaringan kekuasaan yang masih tersisa dari era Jokowi.
Kekhawatiran
mereka muncul karena kondisi keuangan negara yang sedang kritis, banyak proyek
warisan yang menjadi beban (carry over), dan pengeluaran negara yang
tinggi untuk membayar utang. Di sisi lain, sikap Presiden Prabowo yang terkesan
pasif dan tidak responsif terhadap manuver politik kelompok Jokowi menimbulkan
tanda tanya. Mereka mempertanyakan mengapa seorang mantan komandan seperti
Prabowo tampak "takut" untuk mengambil langkah tegas, padahal sistem
pemerintahan dan bahkan nilai-nilai peradaban dianggap telah dirusak oleh
pendahulunya.
Pertemuan
Prabowo dengan Megawati pun ditafsirkan sebagai sesuatu yang strategis, meski
belum menunjukkan hasil konkret. Harapannya adalah akan muncul sinergi baru
yang bisa menyeimbangkan kembali kekuasaan, meski masih ada keraguan karena
kehadiran tokoh seperti Puan Maharani yang dianggap terlalu oportunis.
Kritik juga
diarahkan pada PDIP sebagai partai yang menyebut diri “partai wong cilik”,
namun dalam praktiknya justru tidak banyak memperjuangkan kebijakan yang
berpihak pada rakyat kecil di DPR. Produk legislasi malah cenderung
menguntungkan elite dan pengusaha besar.
Selain itu,
muncul pula sorotan terhadap proyek-proyek strategis nasional (PSN) yang diduga
disalahgunakan untuk kepentingan swasta, dengan dalih pembangunan. Banyak lahan
rakyat yang digusur, sementara PSN itu sendiri dibiayai dari utang yang makin
membebani negara. PSN, yang seharusnya menjadi solusi pembangunan, justru
berubah menjadi instrumen akumulasi kapital oleh segelintir pihak.
Pembicaraan
juga menyentuh isu "deep state", di mana berbagai kasus hukum seperti
korupsi dana desa tiba-tiba menghilang dari sorotan, dan hanya menjerat
pelaku-pelaku kecil. Ada dugaan bahwa jaringan kekuasaan lama masih bekerja di
balik layar untuk melindungi para elit dan mencegah keadilan ditegakkan.
Namun, ada
sedikit optimisme yang terselip. Para pembicara berharap pertemuan politik
antara tokoh-tokoh besar seperti Prabowo dan Megawati bisa menjadi titik balik,
asal Prabowo berani membersihkan pengaruh shadow government tersebut
agar bisa menjalankan pemerintahannya secara mandiri dan sesuai dengan visinya
sendiri.
Di bagian
akhir, muncul pula prediksi bahwa kasus ijazah palsu akan kembali menjadi
sorotan besar, menandai bahwa babak baru pertarungan politik dan hukum sedang
dimulai. Sumber https://www.youtube.com/watch?v=zEYe7RwCYZA